Oleh: Lisa Martiah Nila Puspita, S. E., M. Si., Ak.
Dosen Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas Bengkulu
“Pinjam aja ke Bank Syariah X, mumpung sekarang ada budget untuk itu”, “Enakan ke Bank Syariah Y, lebih sederhana prosedurnya….”, “Pinjam ke Bank Syariah atau konvensional gak jauh beda total pengembaliannya…” dan masih banyak lagi ungkapan sejenis yang dilontarkan masyarakat ketika membutuhkan dana untuk keperluan tertentu. Terlepas dari keperluan pembiayaan produktif ataupun konsumtif, ungkapan semacam itu tidak jelas makna ubudiyah (ibadah) yang seharusnya terkandung dalam setiap amal yang dilakukan seorang muslim.
Dalam rangka meningkatkan pemasaran produknya, baik perbankan konvensional maupun syariah tak sungkan mengadakan kerjasama dengan instansi lain untuk menyalurkan dana yang dimilikinya. Melalui koperasi yang ada pada instansi bersangkutan, pegawai dengan mudah dapat mengajukan permohonan pembiayaan, tanpa harus berhubungan langsung ke bank bersangkutan. Baru ketika permohonan disetujui bank, pegawai yang meminjam dating ke bank untuk menyelesaikan beberapa urusan administrasi lagi.
Prosedur yang dilalui pegawai dalam sebuah instansi melalui koperasi untuk mengajukan permohonan pembiayaan baik kepada bank konvensional maupun bank syariah relatif sama. Ditambah lagi dengan pengurus koperasi yang tidak memiliki wawasan tentang ekonomi syariah, membuat akad pembiayaan di bank syariah melalui koperasi tersebut tidak jelas. Ironisnya, pegawai yang membutuhkan pembiayaan pun tidak peduli makna syariah yang ia lakukan transaksi, yang penting ia memperoleh dana pada saat itu.
Bila dicermati lebih lanjut, mayoritas pegawai membutuhkan dana untuk keperluan konsumtif, membangun rumah, membeli kendaraan bermotor, menyekolahkan anak dan lain-lain. Islam tidak merekomendasikan adanya pinjaman konsumtif, Islam justru mendorong pembiayaan-pembiayaan produktif agar seseorang dapat beramal sholeh secara lebih progresif. Sebagai solusi pemenuhan kebutuhan konsumtif tersebut, Islam menyerukan untuk melakukan baiah (jual beli). Sebagaimana firman Allah SWT,” …Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba….”(QS.Al Baqoroh: 275)
Bentuk nyata pembiayaan konsumtif ini adalah produk murabahah. Produk yang ditawarkan perbankan syariah ini jelas berbeda dengan pembiayaan yang ditawarkan bank konvensional. Murabahah adalah akad jual beli antara pihak bank dan nasabah dengan margin (keuntungan) yang telah ditetapkan, sementara di bank konvensional produk ini berupa pinjaman yang harus dikembalikan dengan kelebihan di atas pokok pinjaman yang di dalam Islam adalah terlarang (tergolong riba).
Sayang seribu kali sayang, akad murabahah hampir tak pernah disebutkan dalam setiap pengajuan pembiayaan melalui koperasi pegawai. Minimnya pengetahuan pegawai (calon nasabah bank syariah) dan pengurus koperasi membuat akad murabahah ini tidak berbeda dengan pinjaman konsumtif yang ditawarkan bank konvensional. Si pegawai hanya mementingkan tersedianya dana untuk memenuhi kebutuhannya, sementara pengurus koperasi juga tidak ingin direpotkan dengan adanya tambahan prosedur yang harus dilaluinya.
Mensosialisasikan ekonomi syariah beserta instrumennya memang tidak semudah membalikkan telapak tangan. Selain menjadi agenda perbankan syariah itu sendiri, adalah tugas ulama dan akademisi penggiat ekonomi syariah untuk lebih memasyarakatkan instrumen pendukung perekonomian syariah itu sendiri. Tidak terbatas pada seminar-seminar berskala nasional dan internasional, di luar institusi pendidikan ekonomi syariah, dibutuhkan pula pelatihan-pelatihan terhadap ujung tombak pelaksanaannya. Tidak menutup kemungkinan, jika kajian-kajian di majelis taklim ibu-ibu di mesjid-mesjid atau perkantoran juga diselingi materi ekonomi syariah, karena itu semua adalah dalam rangka menegakkan Kalimatullah di muka bumi ini. Wallahu alam bissawab.
Bengkulu, 21 Juni 2010
Untuk FoSSEI