"Menuju Ekonomi Robbani" Merupakan Slogan Salah Satu KSEI yang Berasal Dari Universitas Umum di FoSSEI Regional Sumatera Bagian Selatan

KSEI yang memakai slogan ini adalah KSEI Ukhuwah FE Unsri, KSEI ini berhasil mendapatkan penghargaan KSEI Robbani pada Musyawarah Regional FoSSEI Sumbagsel IV yang diadakan di Universitas Lampung

Ikhwan KSEI Risef di Field Trip Temilreg Curup

Temilreg yang diadakan KSEI FoKES STAIN Curup Bengkulu berhasil dijuarai oleh KSEI Pakies IAIN Raden Fatah Palembang, di akhir kompetisi panitia menyediakan agenda Field Trip ke Suban Air Panas Curup, Bengkulu Utara

Field Trip Rakereg FoSSEI Sumbagsel 2011

Rakereg FoSSEI Sumbagsel yang diadakan di IAIN Raden Fatah Palembang dengan tuan rumah KSEI Pakies menjadi salah satu pengalaman tak terlupakan bagi peserta Rakereg yang menyempatkan diri berwisata ke Pulau Kemaro, sebuah Pulau Legendaris yang membelah Sungai Musi

Delegasi KSEI Ukhuwah FE Unsri Pada Temilnas X UIN Sultan Syarif Kasim Riau

Meskipun tidak berhasil menang dan mencapai target, para delegasi dari KSEI Ukhuwah tetap bersemangat mengikuti agenda yang telah susah payah dipersiapkan oleh Panitia, kala itu KSEI Ukhuwah FE Unsri berdampingan dengan saudara seperguruannya, KSEI Pakies IAIN ReFah Palembang serta ditambah salah satu delegasi dari Komsat Bengkulu, KSEI FKSI KEI KBM Unib

Foto Bersama, Ketua Komsat FoSSEI Sumsel, Presnas II FoSSEI dan Koreg FoSSEI Sumbagsel

Tidak ada yang istimewa dari foto ini, selain mereka sebenarnya adalah satu KSEI, dari kiri ke kanan : akh Firmansyariandi, akh Febri Fransiska, akh Rizarullah Santoso

Jumat, 20 Juli 2012

Akuntansi Zakat dan Dana Kebajikan



Oleh Dian Yunia Ningsih (Mahasiswa S1 Akuntansi FE Unsri 2009 - KSEI Ukhuwah)


FoSSEISumbagsel Zakat merupakan kewajiban yang mengikat setiap muslim dan dikenakan atas diri dan harta yang dimiliki oleh muslim. Zakat berbeda dengan pajak. Aturan pajak ditetapkan oleh negara sedangkan zakat ditetapkan oleh Allah SWT yang diatur melalui syariah Islam.

          Di Indonesia mengakomodir hal ini melalui UU tentang zakat dan pajak. Dalam UU zakat diketahui bahwa negara akan turut membantu pengelolaan zakat serta dalam UU pajak diketahui bahwa zakat yang dibayarkan kepada Lembaga Amil resmi dapat dianggap sebagai pengurang penghasilan.

         Untuk pelaksanaan akuntansi, DSAK telah mengeluarkan ED PSAK  109 tentang akuntansi untuk lembaga amil zakat/ infak dan shadaqah. Sesuai dengan fungsi akuntansi itu sendiri yaitu sebagai transparansi dan pertanggungjawaban maka dengan telah diterbitkan ED PSAK 109 tersebut diharapakan pengelolaan zakat/infak dan shadaqah akan lebih transparan dan emncapai sasaran, sesuai dengan tuntunan syariah.

         Ruang lingkup PSAK 109 hanya untuk amil zakat yang menerima dan menyalurkan  zakat/infak/ shadaqah, atau organisasi pengelola zakat yang pembentukannya dimaksudkan untuk mengumpulkan dan menyalurkan zakat,infak, shadaqah.

Akuntansi Zakat 

1. Penenrimaan zakat diakui pada saat kas atau aset lainnya diterima dan diakui sebagai penambah dana zakat.

    Jika diterima dalam bentuk kas :
             Kas - Dana Zakat (D)                         xxx
                       Dana Zakat      (K)                          xxx

   Jika diteriam dalam bentuk non kas maka diakui sebesar nilai wajar aset :
            Aset non kas (D)                                 xxx
                       Dana Zakat (K)                              xxx

2. Dana zakat diterima diakui sebagai dana amil untuk bagian amil dan dana zakat untuk bagian non amil :
            Kas / Aset non kas (D)                      xxx
                       Dana amil - amil                            xxx
                       Dana Zakat - non amil                   xxx

3. Penurunan nilai aset zakat diakui sebagai:

    a. pengurangan dana zakat, jika terjadi tidak disebabkan oleh kelalaian amil :
                Dana Zakat  (D)                           xxx
                          Aset non kas  (K)                     xxx
   
    b. kerugian dan pengurangan dana amil, jika terjadi karena kelalaian amil :
                Dana amil-kerugian (D)                 xxx
                          Aset Non kas (K)                    xxx

4. Penyaluran zaakat kepada mustahiq

    a, jika pemberian dilakukan dalam bentuk kas :
                  Dana Zakat (D)                         xxx
                           Kas- Dana Zakat (K)              xxx
  
   b. jika pemberian dilakukan dalam bentuk non kas, maka dicatat berdasarkan jumlah yang tercatat :
                  Dana Zakat (D)                                      xxx
                             Aset non kas - dana zakat (K)          xxx

CATATAN:
Amil harus mengungkap hal-hal berikut terkait dengan transaksi zakat, tetapi tidak terbatas pada:
  1.  Kebijakan penyaluran zakat
  2. Kebijakan pembagian antara dana amil dan non amil atas penerimaan zakat.
  3. Metode penentuan nilai wajar yang digunakan untuk penerimaan zakat berupa aset non kas.
  4. Rincian jumlah penyaluran dana zakat yang mencakup jumlah beban pengelolaan  dan jumlah dana yang diterima langsung mustahik
  5.  hubungan istimewa antara amil dan mustahik yang meliputi : sifat hubungan istimewa, jumlah dan jenis aset yang disalurkan, dan persentase dari aset yang disalurkan tersebut dari total penyaluran selama periode.
  6. Keberadaan dana non halal, jika ada, diungkapkan mengenai kebijakan atas penerimaan dan penyaluran dana, alasan, dan jumlahnya.
  7. Kinerja amil atas penerimaan dan penyaluran dana zakat dan dana infak/ sedekah.

Akuntansi Dana Kebajikan
      
1. Penerimaan infak/sedekah

     # jika diterima dalam bentk kas :
                Kas - Dana kebajikan  (D)             xxx            
                          Dana Kebajikan (K)                  xxx

     # jika diterima dalam bentuk aset non kas dapat dikelompokkan menjadi aset lancar dan aset tidak lancar :
               Aset Lancar- Dana kebajikan (D)          xxx
               Aset tidak lancar - Dana kebajikan(D)      xxx
                               Dana Kebajikan (K)                     xxx

2. Penyusutan dari aset tidak lancar diperlakukan sebagai pengurang dana kebajikan terikat apabila penggunaan atau pengelolaan aset tersebut sudah ditentukan oleh pemberi :

                 Dana kebajikan  (D)                                                         xxx
                               Akumulasi penyusutan aset non lancar (K)                 xxx

3. Penurunan nila aset dana kebajikan

    a. Bukan karena kelalaian amil :
                 Dana Kebajikan - non amil (D)     xxx
                               Aset non kas (K)                 xxx

   b. Karena kelalaian amil :
                 Dana kebajikan-kerugian   (D)       xxx
                              Aset nonkas (K)                     xxx

4. Penyaluran dana

                  Dana kebajikan (D)                        xxx
                              Kas / Aset nonkas (K)             xxx.

              Penerimaan nonhalal diakui sebagai dana nonhalal, yang terpisah dari dana zakat, dana kebajikan dan dana amil. Aset non halal disalurkan sesuai dengan syariah.


Laporan Keuangan Lembaga Amil
              Terdiri atas :
  1. Neraca (laporan posisi keuangan)
  2. Laporan perubahan dana
  3. Laporan perubahan Aset kelolaan 
  4. Laporan arus kas
  5. Catatan atas laporan keuangan.


Referensi

Nurhayati,Sri, Wasilah. Akuntansi Syariah di Indonesia.2011. Jakarta: Salemba Empat


Jumat, 13 Juli 2012

Pilar-Pilar Kekuatan Ekonomi Ummat


Oleh : Rizarullah Santoso (Mahasiswa Manajemen FE Unsri 2010 - KSEI Ukhuwah)

FoSSEISumbagsel Pada hakikatnya harta bukanlah segalanya, namun tidak dapat dipungkiri jika segalanya itu membutuhkan harta. Lima perkara yang menjadi pilar utama Islam itu pun sangat membutuhkan harta. Entah itu syahadat apalagi berhaji ke baitullah. Sedangkan dalam berdakwah pun. Elemen ini menjadi sebuah elemen pokok dalam meningkatkan prestisi dan kekuatan dakwah itu sendiri. Bahkan sejak zaman Rasulullah SAW pun, harta menjadi elemen penting dalam pemenangan dakwah, terutama di saat peperangan melawan kaum kafirin.

Kemudian yang menjadi pokok permasalahan umat dewasa ini adalah keterbatasan ilmu dan ketidak ingin tahuan mereka terhadap seni mengelolanya seperti yang dilakukan oleh Rasulullah. Bahkan kebanyakan menganggap harta adalah ‘aib bagi dirinya, dan menganggap harta adalah penuntun diri menuju pintu neraka. Padahal, yang perlu dipahami adalah bagaimana seninya mengelola harta tersebut sesuai al-Qur’an dan as-Sunnah.

Banyak referensi yang tak perlu diragukan legi keabsahannya guna medayahgunakan harta dengan tepat guna. Menggunakan harta untuk menghidupkan sunnah. Mencari harta dengan cara mengukuti sunnah. Dan mengelolanya demi kemaslahatan pribadi dan ummat. Sehingga pada aplikasinya, harta akan sangat berguna bagi penopang penting kekuatan dakwah. Mungkin penulis akan sedikit berbagi lewat secuil Faktor sekaligus pilar bagi kekuatan Ekonomi Ummat.

Menjauhi Sumber Penghasilan Haram
Sedikit klise jika kita masih mencoba mencari harta dari jalan yang batil ini, banyak sekali sumber-sumber baik dustur Ilahiyah maupun risalah nabawiyah yang menegaskan tentang pelarangan seorang muslim menjauhi mendapatkan harta dari cara yang batil. Namun sebaliknya, Islam justru menuntut ummatnya untuk mencari harta dari cara yang dihalalkan syari’at. Lantas, salah satu penggunaan harta yang tepat guna dan cara sedikit terlampir pada ayat-ayat dan hadits berikut ini :

 “Tidaklah sekali-kali seseorang makan suatu makanan yang lebih baik daripada makan dari hasil kerja tangannya sendiri, dan sesungguhnya Nabi Dawud makan dari hasil tangannya sendiri.” (HR. Al-Bukhari).

“Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rizki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah jika benar-benar hanya kepadaNya kamu menyembah.” (QS Al-Baqarah: 172).

Dalam ayat lain, “Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah syetan, karena syetan itu adalah musuh yang nyata bagimu.” (QS Al-Baqarah: 168).

Al-Hafidz Ibnu Mardawih meriwayatkan sebuah hadits dari Ibnu Abbas bahwa ketika dia (Ibnu Abbas) membaca ayat : berdirilah Sa’ad bin Abi Waqash kemudian berkata: “Ya Rasulullah, do’akan kepada Allah agar aku senantiasa menjadi orang yang dikabulkan do’anya oleh Allah.” Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaih wa sallam bersabda : “Wahai Sa’ad perbaikilah makananmu (makanlah makanan yang halal) niscaya engkau akan menjadi orang yang selalu dikabulkan do’anya. Dan demi jiwaku yang ada di tanganNya, sungguh jika ada seseorang yang memasukkan makanan haram ke dalam perutnya, maka tidak akan diterima amal-amalnya selama 40 hari, dan seorang hamba yang dagingnya tumbuh dari hasil menipu dan riba maka neraka lebih layak baginya (HR. At-Thabrani)

       Mungkin, hadits dan ayat diatas, cukuplah menegaskan bahwa betapa pentingnya bagi kita menjahi mencari harta dari jalan batil. Namun, pada dasarnya, kita pun butuhpenjelasan yang lebih ilmiah dari sekadar sumber ilahiyah saja yang sebenarnya ilmu kita belum mempunyai kapasitas yang kuat untuk meterjemahkannya secara tepat.
Sedikit memberikan penjelasan, mengapa kita harus menjauhi hal demikian. Sebelumnya ci=oba kita renungkan, apakah kita hidup sendirian, dan apakah harta itu menopan kita sendirian, dan apakah kita dapat mencarinya sendirian?. Saya rasa pertanyaan tersebut cukup untuk menjawab pertanyaan kita. Ya, harta itu pun dibutuhkan oleh satu sama lain, sehingga. Kita taka da hak mendapatkannya dengan cara yang batil sehingga merugikan orang lain.

Menjauhi Riba
Jika bicara soal riba, saya teringat sebuah hadits yang cukup mengangkat bulu kuduk ini dan menjadi bayang-bayang di siang dan malam. Coba kita simak hadits-hadits dibawah ini :

Dari Ibnu Mas’ud ra bahwa Nabi saw bersabda, “Riba itu mempunyai tujuh puluh tiga pintu, yang paling ringan (dosanya) seperti seorang anak menyetubuhi ibunya.” (Shahih: Shahihul Jami’us Shaghir no: 3539 dan Mustadrak Hakim II: 37).
Dari Abdullah bin Hanzhalah ra dari Nabi saw bersabda, “Satu Dirham yang riba dimakan seseorang padahal ia tahu, adalah lebih berat (dosanya) daripada tiga puluh enam pelacur.” (Shahih: Shahihul Jami’us Shaghir no: 3375 dan al-Fathur Rabbani XV: 69 no: 230).

Sedikit Pengertian Riba, Jadi pada dasarnya, Kata Ar-Riba adalah isim maqshur, berasal dari rabaa-yarbuu, yaitu akhir kata ini ditulis dengan alif. Asal arti kata riba adalah ziyadah ‘tambahan’. Adapun pengertian tambahan dalam konteks riba, adalah tambahan uang atas modal yang di peroleh dengan cara yang tidak di benarkan syara. Apakah tambahan itu berjumlah sedikit maupun jumlah banyak seperti yang diisyaratkan dalam al-Quran :

Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah dan tinggalkanlah sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka permaklumkanlah bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kami tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.” (QS Al-Baqarah: 278-279).

       Dari beberapa penjelasan ayat dan hadits sebelumnya, sudah jelaslah, kenapa kita selaku muslim sangat dilarang dalam menumbuh-suburkan riba’. Alangkah indahnya ketika dunia ini tanpa riba’, semua orang akan hidup damai, adil dan sejahtera. Karena pada hakikatnya, orang-orang pemakan riba itu bagaikan seorang yang kerasukan syetan, seperti dijelaskan pada ayat berikut :

"Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya." (QS Al-Baqarah : 275)

       Yang kita ketahui, satu orang saja kemasukan syetan, sudah sangat merepotkan, apalagi 3, 4, 5 bahkan sepuluh orang.

       Lantas keharaman riba’ pun semakin tegas pada ayat diatas, “sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”. Lantas apalagi yang membuat alasan untuk kita masih mempertahankan riba’.

Menjauhi Segala Macam Jenis Perjudian (Maisir)
Mungkin dari awal tadi, saya terlalu banyak menggunakan dalil-dalil dari Al-Quran dan Hadits tanpa penjelasan yang terperinci. Mungkin pada point ini saya akan lebih banyak menguraikan daripada memposting ayat dan hadits. Namun sebelum itu, ada sebuah ayat pembuka yag ingin saya sajikan :

Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: 'Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfa'at bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfa'atnya'. Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: ' Yang lebih dari keperluan.' Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berfikir, (QS. Al-Baqarah: 219)

       Dari ayat diatas, sudah jelaslah bagaimana keharaman dalam berjudi. Berjudi pada wujudnya dapat berupa mengundi dan memiiki unsur ketidak pastian yang tinggi. Judi atau dikenal dengan istilah maisir sangat beririsan dan berkaitan dengan spekulasi. Spekulasi yang sifatnya gharar sangatlah merugikan. Baik merugikan diri sendiri, maupun orang lain.
       Jika satu dari kita melakukan perjudian, kemudian yang melakukan perjudian itu kalah, maka secara pribadi, kita akan rugi finansial. Sudah rahasia umum, judi itu untung-untungan, artinya, tidak semua orang bisa menang dan peluangnya sangat kecil. Belum lagi yang menjadi broker atau Bandar judi tersebut adalah non muslim, maka uang-uang yang telah terpakai tadi akan menjadi milik mereka dan semakin memudahkan ‘dakwah negatifnya’ itu kepada tangga kesuksesan. Nah, itu baru satu orang yang melakukan perjudian, jika ada seper sepuluh saja dari umat yang melakukannya, maka tunggu saja kehancuran kita.

·         Menjauhi Penipuan
Apa yang anda rasakan jika anda ditipu? Sakit? Ingin marah? Atau? Ya, kita paham, siapa saja yang ditipu, tentu akan merasa gusar dan dongkol. Maka, saya berharap dan menghimbau, semua dari kita tidak ada yang melakukan penipuan, terutama dalam menjunjung etika berbisnis seorang muslim.

Insya Allah, orang-orang yang membaca makalah ini adalah orang-orang yang terjauhkan dari perbuatan tersebut. Karena pada hakikatnya, orang yang melakukan penipuan sesungguhnya mendapatkan kerugian yang tidak tanggung-tanggung. Kerugian yang pertama adalah kerugian dunia, yang kedua adalah kerugian akhirat.

Apa saja yang menjadi kerugian dunia? Yang menjadi kerugian dunia akan kita kaitkan dengan pertanyaan diawal sub bahasan ini. Kira-kira, siapa yang akan berbisnis dengan seorang penipu (kalau ketahuan), dan siapa pula yang akan berbisnis dengan orang yang sudah jelas-jelas pernah menipu. Saya rasa, tidak ada, dan meskipun ada, dia adalah yang paling tidak mengetahui cara berbisnis. Maka yang saya simpulkan, anda tidak akan pernah mendapatkan keuntungan dari sebuah penipuan, karena anda kehilangan elemen terpenting dalam mencari keuntungan, yaitu pelanggan.

Kemudian ada pula kerugian dunia yang berkaitan dengan hukum dunia, yang tertuang di dalam KUHP, yang diatur dalam bab XXV pasal 378 sampai dengan 395. Dalam rentang pasal-pasal tersebut, kemudian berubah menjadi bentuk-bentuk penipuan yang lebih khusus. Bentuk-Bentuk Penipuan, Unsur, dan Akibat Hukumnya

Dan yang kedua adalah kerugian akhirat, teringat sebuah riwayat sbb :
“Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pernah melewati setumpuk makanan, lalu beliau memasukkan tangannya ke dalamnya, kemudian tangan beliau menyentuh sesuatu yang basah. Maka beliaupun bertanya, “Apa ini wahai pemilik makanan?” Dia menjawab, “Makanan tersebut terkena air hujan wahai Rasulullah.” Beliau bersabda, “Mengapa kamu tidak meletakkannya di bagian atas agar manusia dapat melihatnya?! Barangsiapa yang menipu maka dia bukan dari golonganku.” (HR. Muslim)
Kita semua tentu tahu dan paham, orang-orang yang bukan merupakan golongan rasul adalah orang orang yang tidak akan mendapatkan pertolongan di hari yang menjadi hari yang kekal nanti.

Membayar Zakat
Salah satu pilar penguat bangunan Islam adalah menunaikan  zakat. Pilar inilah yang menjadi rangka terkuat dalam kekuatan ekonomi Ummat. Secara tersurat perintah zakat adalah perintah menuanaikan zakat, itu berarti setiap muslim haru menuanikan zakat jika ingin memperkuat kekuatan Islam. Sedangkan secara tersirat, maksud dari perintah ini mewajibkan muslim untuk kaya. Karena yang kita ketahui, seorang muzakki bukanlah berasal dari orang yang miskin. Nashab zakat untuk dinar saja adalah sebanyak 20 dinar (1 dinar=Rp 2.300.000). nah, inilah yang menjadi salah satu sumber pendanaan yang cukup besar bagi perkonomian ummat muslim.

Pada masa khalifah Umar bin Khattab, selain pendapatan Negara berasal dari ghanimah (rampasan perang), pendapatan negara uga berasal dari zakat dan jizyah (pajak non muslim).

Rutin Berinfak & Menghidupkan Wakaf
Sepertinya tidak ada satupun orang yang rela meninggalkan infaq dan wakaf jika tahu apa keutamaannya, mungkin kebanyakan dari kita sedikit menganggap remeh soal menyoal berinfaq dan wakaf. Keutamaan infaq itu sendiri sangat istimewa, semakin banyak kita berinfaq, justru semakin banyak rezeki yang kita dapat. Disamping itu sudah pasti ganjaran yang kita dapatkan adalah ganjaran yang paling berharga. Yakni pahala, seperti firman Allah sebagai berikut :

Orang-orang yang menafkahkan hartanya di malam dan di siang hari secara tersembunyi dan terang-terangan, maka mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (QS al-baqarah : 24).

Selain itu, setelah pahala, yang kita dapatkan adalah manfaat besar di dunia, berupa materi seperti ayat berikut ini :

"Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui." (QS : Al-Baqarah : 261)

Maka sudah sebuah kepastia bahwa Islam sangat membutuhkan elemen ini dalam meningkatkan kekuatan perekonomiannya. Tidak hanya kekuatan ekonomi secara mikro (individu), namun pula kekuatan ekonomi secara makro (Negara).

Membiasakan Menabung, Meski Sedikit
Tabungan dalam Islam jelas merupakan sebuah konsekwensi atau respon dari prinsip ekonomi Islam dan nilai moral Islam, yang menyebutkan bahwa manusia haruslah hidup hemat dan tidak bermewah-mewah serta mereka (diri sendiri dan keturunannya) dianjurkan ada dalam kondisi yang tidak fakir. Jadi dapat dikatakan bahwa motifasi utama orang menabung disini adalah nilai moral hidup sederhana (hidup hemat) dan keutamaan tidak fakir.

Tingkat tabungan dari seorang individu dalam teori Islam juga tidak terlepas dari pertimbangan kemashlahatan ummat secara keseluruhan. Pada kondisi tertentu dimana masyarakat begitu membutuhkan harta atau dana, maka individu yang memiliki dana lebih, akan mengurangi tingkat tabungannya atau lebih tepatnya mengurangi tingkat kekayaannya untuk membantu masyarakat yang kekurangan. Mekanisme ini dapat berupa mekanisme sukarela atau mekanisme yang mengikat, artinya negara memiliki wewenang dalam memaksa individu yang berkecukupan untuk membantu masyarakat yang membutuhkan, dengan mengenakan pajak khusus atau dikenal dengan nawaibpada masyarakat golongan kaya. Dengan demikian tingkat tabungan dalam Islam memiliki korelasi yang kuat dengan kondisi ekonomi.

Bagaimana hubungan tingkat tabungan ini dengan tingkat investasi dalam sebuah perekonomian Islam? Tabungan dalam ekonomi Islam tidak begitu kuat dihubungkan dengan investasi. Karena ketika tabungan dimotifasi oleh alasan berjaga-jaga, hidup hemat dan sederhana, maka tidak relevan akumulasi tabungan ini kemudian digunakan untuk investasi yang mekanismenya dalam Islam menggunakan skema bagi-hasil yang memiliki risiko rugi. Risiko yang dimiliki investasi bagi hasil tidak begitu sinkron dengan alasan para pemilik uang untuk menahan uangnya berupa tabungan. Meskipun hubungan itu akhirnya terjadi akibat mekanisme perbankan syariah saat ini yang menggunakan benchmark konvensional, dimana pos tabungan berjaga-jaga masyarakat dapat digunakan oleh bank pada sisi pembiayaannya, konsekwensinya pada sisi pendanaan bank syariah memberikan bonus kepada para nasabah tabungan yang bermotif berjaga-jaga tersebut. Selain itu, berdasarkan motif dan realita masyarakat Islam seperti yang telah dijelaskan dalam pembahasan konsumsi dan permintaan, bahwa masyarakat Islam terdiri atas masyarakat muzakki, mid-income dan mustahik, dapat disimpulkan bahwa mereka yang aktif dalam menabung adalah mereka yang masuk dalam golongan muzakki dan mid-income. Dan akumulasi tabungan secara teori akan relatif kecil jika dibandingkan akumulasi investasi, yang berarti juga peran tabungan dalam perekonomian akan relatif kecil. Dengan demikian tabungan tergantung pada besarnya pendapatan yang porsinya ditentukan oleh kebutuhan berjaga-jaganya. Dan ini perlu dirumuskan lebih spesifik untuk dapat mengkalkulasikan posisi dan peran tabungan dalam perekonomian.

Hubungan tabungan dan investasi dalam perekonomian Islam yang khas ini memang berbeda dengan apa yang dimiliki oleh konvensional. Sehingga perlu sebuah konsep pendekatan analisa ekonomi yang mampu memberikan penjelasan yang cukup tepat tentang posisi serta hubungan tabungan dan investasi dalam sistem ekonomi Islam, juga peran keduanya dalam memajukan kesejahteraan ekonomi.

Wallahu 'alam Wisshowaf...

Sense of Sharia Insurance




Penulis : Abdurrahman (Akuntansi 2011 FE Unsri - KSEI Ukhuwah)
FoSSEISumbagsel Setelah memahami asuransi dalam pandangan islam, mungkin akan ada sedikit persepsi bahwa pelaksanaan asuransi konvensional dengan teori islam mengenai asuransi sedikit berbeda. Hal ini terlihat jelas pada sistem pelaksanaannya yaitu akad kerjasamanya. Dilihat dari segi transaksi, asuransi konvensional lebih pada akad sepihak  yang mengharapkan keuntungan dari asuransi itu baik dari tertanggung maupun penanggung dimana tertanggung ingin mendapat keuntungan berupa penjaminan, dan penanggung mengharapkan keuntungan laba (uang). Sangat kontras memang bila ditelisik dari sudut islam, yang mana asuransi syariah berkonsentrasi pada dasar saling tolong menolong umat yang berkoordinasi dalam mengumpulkan dana untuk mempersiapkan suatu hal buruk yang mungkin akan terjadi, dan uang yang terkumpul semata-mata untuk menanggung kerugian anggota bukan untuk berspekulasi mencari keuntungan. Lagipula asuransi syariah ini lebih bersifat “tabungan masa depan” yang disalurkan dalam bentuk amal yaitu menolong umat (anggota) yang sedang berada dalam kesulitan.
Di sisi lain juga, asuransi konvensional berakad dengan keputusan sepihak bukan kesepakatan antara suka sama suka. Serta dalam pelaksanaannya bisa terjadi “memakan harta secara batil” yang mana ini berasal dari keuntungan diatas kerugian.  Maksudnya ialah penanggung mendapat keuntungan diatas kerugian tertanggung yang sudah membayar premi tetapi kerugian/peristiwa buruk/Evenement tidak terjadi. Dan kebalikannya.
Allah SWT berfirman :
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah maha penyayang kepadamu.” (QS. An-Nisa;29)
Membunuh disini maksudnya ialah janganlah masuk kedalam jurang keburukan yang mana bila diartikan dapat berupa larangan membunuh dalam arti mencelakakan orang lain dengan jalan yang batil.  Tentu sebagai umat muslim, kita wajib menghindari hal-hal yang berbau batil. Dilanjutkan dalam QS. An-Nisa:30, dimana Allah akan membalas dengan Neraka bagi barang siapa melanggar hak dan aniaya.
Selanjutnya, asuransi syariah justru lebih berprinsip tabarru (berdasarkan keinginan untuk tolong menolong tanpa mengutamakan keuntungan/kerugian) yang mana kegiatannya untuk menciptakan kemaslahatan/kesejahteraan umat (anggota). Tentu hal ini merupakan syariat yang dibenarkan dalam islam dimana kehidupan itu harus menimbulkan kemaslahatan yang baik bagi orang banyak. Sama seperti asuransi ini. Asuransi ini merupakan salah satu cabang dari sekian ilmu fiqh mua’amalah yang beragam yang bisa dikaji untuk menciptakan kehidupan yang bermanfaat bagi sekelilingnya bergaya islami namun mendapat ridho dari sang ilahi.
Sedikit banyak kita telah mengenal asuransi di mata islam yang telah dikemukakan sebelumnya. Konteks pelaksanaannya pun telah dijabarkan dalam susunan materi tersendiri yang tersebar di berbagai media. Kepekaan kita terhadap ilmu Allah haruslah diusung dengan kuat, mengingat  ilmu yang dianjurkan dalam islam tentu memiliki manfaat yang besar di diri kita, seperti Asuransi syariah yang bermanfaat dalam menciptakan kemaslahatan dan keadilan bagi manusia yang diaplikasikan dengan ilmu islam. Subhanallah, memang ilmu yang berbau islam pada hakekatnya membawa suatu keberkahan.
Tentu setelah membaca artikel saya tersebut, diharapkan untuk dapat menjalani hidup ini yang sesuai dengan jalan agama bernaskan syariat yang diridhoi oleh Allah SWT. Dalam hal ini asuransi berbau islam merupakan hal yang kecil untuk dibahas namun begitu penting dampaknya dalam membentuk karakter ekonomi robbani dalam jiwa muslim dan muslimah. Kita tentu juga ingat bahwa kita hidup untuk mencari keridhoan Allah. Untuk mencapai tujuan tersebut, kita harus mengikuti syariat yang telah diperintahkan dan cobalah untuk menjauhi segala yang menimbulkan keburukan bagi diri kita. Ayo teman-teman, akhi, ukhti untuk sama-sama berusaha untuk menggunakan dan menerapkan ilmu islam di setiap produk dunia ini agar kita mendapat keberkahan dan keridhoan dari Allah SWT. Aaaamiin.

Artikel Sebelumnya :

Kamis, 12 Juli 2012

Berbagai Definisi Ekonomi Islam dari Para Ahli dan Fuqaha



FoSSEISumbagsel Ekonomi dalam Islam adalah ilmu yang mempelajari segala prilaku manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya dengan tujuan memperoleh falah (kedamaian & kesejahteraan dunia-akhirat).
Kata Islam setelah Ekonomi dalam ungkapan Ekonomi Islam berfungsi sebagai identitas tanpa mempengaruhi makna atau definisi ekonomi itu sendiri. Karena definisinya lebih ditentukan oleh perspektif atau lebih tepat lagi worldview yang digunakan sebagai landasan nilai.
Pada tingkat tertentu isu definisi Ekonomi Islam sangat terkait sekali dengan wacana Islamisasi Ilmu Pengetahuan (Islamization of Knowledge) Science dalam Islam lebih dimaknakan sebagai segala pengetahuan yang terbukti kebenarannya secara ilmiah yang mampu mendekatkan manusia kepada Allah SWT (revelation standard – kebenaran absolut). Sedangkan Science dikenal luas dalam dunia konvensional adalah segala ilmu yang memenuhi kaidah-kaidah metode ilmiah (human creation – kebenaran relatif).

Prilaku manusia disini berkaitan dengan landasan-landasan syariat sebagai rujukan berprilaku dan kecenderungan-kecenderungan dari fitrah manusia. Dan dalam ekonomi Islam, kedua hal tersebut berinteraksi dengan porsinya masing-masing hingga terbentuklah sebuah mekanisme ekonomi yang khas dengan dasar-dasar nilai Ilahiyah.
Berikut ini definisi Ekonomi dalam Islam menurut Para Ahli :
1. S.M. Hasanuzzaman,
“ilmu ekonomi Islam adalah pengetahuan dan aplikasi ajaran-ajaran dan aturan-aturan syariah yang mencegah ketidakadilan dalam pencarian dan pengeluaran sumber-sumber daya, guna memberikan kepuasan bagi manusia dan memungkinkan mereka melaksanakan kewajiban-kewajiban mereka terhadap Allah dan masyarakat.”
2. M.A. Mannan,
“ilmu ekonomi Islam adalah suatu ilmu pengetahuan social yang mempelajari permasalahan ekonomi dari orang-orang memiliki nilai-nilai Islam.”
3. Khursid Ahmad,
ilmu ekonomi Islam adalah “suatu upaya sistematis untuk mencoba memahami permasalahan ekonomi dan perilaku manusia dalam hubungannya dengan permasalahan tersebut dari sudut pandang Islam.”

4. M.N. Siddiqi,
ilmu ekonomi Islam adalah respon “para pemikir muslim terhadap tantangan-tantangan ekonomi zaman mereka. Dalam upaya ini mereka dibantu oleh Al Qur’an dan As Sunnah maupun akal dan pengalaman.”
5. M. Akram Khan,
“ilmu ekonomi Islam bertujuan mempelajari kesejahteraan manusia (falah) yang dicapai dengan mengorganisir sumber-sumber daya bumi atas dasar kerjasama dan partisipasi.”

6. Louis Cantori,
“ilmu ekonomi Islam tidak lain merupakan upaya untuk merumuskan ilmu ekonomi yang berorientasi manusia dan berorientasi masyarakat yang menolak ekses individualisme dalam ilmu ekonomi klasik.”
Ekonomi adalah masalah menjamin berputarnya harta diantara manusia, sehingga manusia dapat memaksimalkan fungsi hidupnya sebagai hamba Allah untuk mencapai falah di dunia dan akherat (hereafter). Ekonomi adalah aktifitas yang kolektif.

Technical size of Syaria Insurance



oleh : Abdurrahman (Akuntansi Unsri 2011 - KSEI Ukhuwah)

FoSSEISumbagsel Telah dijelaskan diatas bahwa intisari dari asuransi syariah itu sendiri ialah saling membantu dalam kesulitan. Memang bila dipahami lebih dalam, konteks penalaran asuransi syariah diatas, ini lebih terfokus pada teorikal dalam pandangan islam yang mendasari asuransi syariah. Tetapi dalam lingkup praktikum/pelaksanaannya memang tidak sama dengan konteks real nya dimana kegiatan asuransi syariah hampir sama dengan asuransi pada umumnya namun saja lebih bersinergi islam.
Penerapan Asuransi Syariah dalam lingkup proses yang  nyata dapat dilihat pada DSN No. 21/DSN-MUI/X/2001, dijelaskan bahwa Asuransi Syariah (Ta’min, Takaful atau Tadhamun) adalah usaha saling melindungi dan tolong-menolong di antara sejumlah orang/pihak melalui investasi dalam bentuk aset dan /atau tabarru’ yang memberikan pola pengembalian untuk menghadapi resiko tertentu melalui akad (perikatan) yang sesuai dengan syariah. Selanjutnya juga dijelaskan instrumen yang harus ada dalam asuransi syariah ialah pihak yang terlibat (perusahaan asuransi dan peserta asuransi), premi (iuran untuk asuransi), klaim (hak peserta asuransi), dan tentu saja akad yaang bermuara pada hak dan kewajiban antar pihak, cara, dan waktu pelaksanaan serta jenis akad. Maka “jenis Akad” lah yang mencirikan asuransi syariah berbeda dengan asuransi umum lainnya.
Dalam  status aktifnya, kita lihat hampir sama dimana ada pihak yang menyediakan layanan asuransi dan ada juga pihak yang menggunakannya. Tidak jauh berbeda, namun dari segi jenis akad yang diterapkan, merupakan suatu pencirian utama asuransi syariah, yaitu akad Tabarru dan tidak menutup kemungkinan juga menggunakan akad Tijaroh..

؏               Akad Tabarru
Pada akad ini, asuransi syariah lebih bersifat penghimpun dana hibah. Perusahaan asuransi adalah pihak sebagai pengelola dana hibah dari peserta yang mengibahkan dananya untuk membantu orang lain yang sedang kesulitan ataupun sebaliknya. Akad jenis ini tentunya bukan untuk tujuan komersil tetapi semata-mata untuk saling tolong menolong. Premi/dana dari peserta yang dihibahkan dapat diinvestasikan sebatas yang diperjanjikan dan biasanya akad ini jarang digunakan untuk suatu perusahaan asuransi, karena keuntungan didapat  hanya berbentuk ujrah (upah/fee) atau sekedar pemberian seadanya.

؏               Akad Tijaroh
Pada akad ini, asuransi syariah condong menggunakan prinsip mudharabah (kerjasama). Dalam case ini, perusahaan asuransi sebagai pengelola dana (Mudharib) dan peserta asuransi sebagai pemilik dana (shahibul mal)/pemegang polis (surat bukti asuransi). Dalam hal ini keuntungan didasarkan atas nilai keadilan dengan proporsi yang telah disepakati bersama antara kedua belah pihak, tanpa adanya kerugian antara kedua belah pihak. Akad ini berfokus pada tujuan komersil, dan akad inilah yang sering/banyak diaplikasikan di perusahaan asuransi syariah, karena penetapan keuntungan didasarkan atas kerja sama kedua belah pihak yang telah berserikat sehingga proporsi keuntungan jelas dan telah dideterminasi. Adapun teknisnya, dana peserta asuransi dapat diinvestasikan dan hasil dari padanya dibagikan berdasarkan kedua belah pihak dengan asas mudharabah.

Namun, kedua akad ini bernilai syariah dimata fiqh mu’amalah. Karena unsur islamiyah dalam iqtishaduna yang berupa kejelasan, keadilan, kesepakatan menyeluruh, terdapat dalam kedua akad ini.
Artikel Sebelumnya :

Syariah Insurance Ideas


 
Oleh : Abdurrahan - (Akuntansi Unsri 2011 - KSEI Ukhuwah)

FoSSEISumbagsel - Kita pasti sudah mengetahui dan mengenal lebih dalam tentang asuransi. Bahkan kehadirannya telah melekat kuat dalam mindset manusia sekarang. Apabila diperdengarkan kata asuransi, pasti pola pikir langsung tertuju pada proses penjaminan berbagai hal baik itu bersifat kebendaan maupun yang bersifat natural (alamiah). Dalam konteks ini tentu jelas bahwa eksistensi asuransi telah terbentuk dalam pola pikir manusia yang terus akan berlangsung secara kontinu.
Di Indonesia, peraturan tentang asuransi telah diatur dalam pasal 246 KUHD, yang menyebutkan bahwa asuransi merupakan perjanjian antara tertanggung dan penanggung dimana tertanggung berkewajiban membayar premi sebagai ganti kerugian apabila Evenement terjadi dan merupakan keuntungan yang diharapkan bagi penanggung apabila Evenement tidak terjadi. Adapun Hal ini tentu dilihat dan dipandang dari segi konvensional. Lalu, bagaimana islam memandang asuransi itu sendiri?.
Dalam ekonomi islam, asuransi dikenal dengan nama at-Ta’mien at-Ta’awuni (asuransi ta’awun) atau at-Ta’mien at-Tabaaduli yang berlandaskan akad Tabarru . Dari segi definisinya, asuransi ta’awun ialah kerjasama antara beberapa orang dimana masing-masing pihak yang terlibat berkeputusan untuk membayar iuran dan digunakan untuk membantu salah satu/beberapa/semua anggotanya apabila ada yang mengalami kerugian akibat suatu resiko tertentu dengan dasar tolong menolong dan sukarela tanpa melibatkan unsur perniagaan yang dilarang seperti adanya riba, gharar (ketidakjelasan), tadlis (penipuan), maysir (perjudian), zhulm (penganiyayan)  di dalamnya. Selanjutnya, apabila dana yang terkumpul antar mereka tidak cukup untuk menanggung kerugian, maka akad Tabarru dapat mengambil peran dimana salah satu pihak boleh/bisa menutupi dengan uangnya atas  kekurangan dana tersebut dengan landasan untuk saling tolong menolong secara sepenanggungan/ secara sukarela. Perintah untuk saling tolong menolong juga dikatakan dalam suatu hadits riwayat sebagai berikut.
“Seorang mu’min dengan mu’min yang lain ibarat sebuah bangunan, satu bagian menguatkan bagian yang lain” (HRMuslim dari Abu Musa al-Asy’ari).

 Jadi, dapat disimpulkan bahwa asuransi ta’awun ini berisi:
-        Kerjasama yang berlandaskan keinginan untuk saling tolong menolong (Takaful) bila ada musibah atau kerugian yang menimpa anggota.
-       Apabila terjadi kekurangan dana untuk menanggulangi musibah, maka ada rasa inisiatif untuk saling tolong menolong atau bersukarela (bertabarru) dari anggota untuk menutup kekurangan tersebut.
-        Bila ada kelebihan dana, maka akan dikembalikan.
Tidak untuk spekulasi, Maysir (perjudian) dan lain sebagainya yang mengharapkan keuntungan ribawi. Tujuan semata-mata nya ialah hanya untuk menciptakan kemaslahatan di antara manusia.