Sabtu, 05 Januari 2013
Garis Para Pemimpin
dakwatuna.com – Tidak seperti petarung, yang skillnya bisa dilatih sepuluh tahun. Tidak juga penulis dan pelukis, atau dokter dan desainer. Kepemimpinan dibangun atas formula yang rumit. Karena ia berarti mengelola manusia yang berkeinginan, manusia yang berobsesi luhur, atau manusia yang tidak sudi diatur. Kepemimpinan menyalurkan potensi dan mengarahkannya ke tujuan. Terlebih kepemimpinan yang ini, bukanlah pemimpin se-kampung dan se-kota, atau se-jazirah Arab, tapi pemimpin umat manusia di zamannya, hingga akhir dunia. Mengantar manusia dari pekatnya malam ke gerbang pagi menuju benderang siang. Dan itu butuh persiapan mental, pikiran dan fisik yang sempurna.
Persiapan itu bukan dimulai di usia dewasa atau remaja, tapi sejak lahir, bahkan sebelum lahirnya. Tahun kelahiran Muhammad adalah ‘âmul fîl, tahun kesyukuran Arab Mekah yang selamat dari ancaman invasi pasukan Gajah. Ia lahir senin, 12 rabîul awwal.
Saat Abrahah menyerbu Mekah dengan enam puluh ribu pasukannya, ia meminta tim intelijennya untuk meneliti tokoh yang paling berpengaruh di Mekah. Dan ia adalah Abdul Muthallib, kakek Muhammad. Saat Abdul Muthallib menghadapi Abrahah yang agung di atas gajah terbesarnya, Abrahah gamang. Yang dihadapinya ternyata tidak hanya disegani Quraisy, tapi diseganinya juga. Ia yang biasanya percaya diri sekarang bingung, ia yang biasanya sombong sekarang tidak bisa tidak untuk menghormatinya. Tapi tidak mungkin mendudukkannya di atas gajah juga. Akhirnya ia sendiri yang turun dari gajahnya, wibawa raja luntur, ditelan kharisma lelaki di depannya.
Abdullah anak lelakinya pun paling terhormat di sana yang kemudian menikah dengan wanita paling terjaga kesuciannya, Aminah. Setiap detik kehidupan Muhammad Sang Da’i penuh perencanaan Allah. Sempurna, agar umat setelahnya bisa mengkaji kesempurnaan alur pertumbuhan Muhammad bayi menuju dewasanya. ‘‘Allah memilih Kinânah di antara keturunan Ismâ’îl, dan memilih Quraisy dari Kinânah, dan memilih dari Quraisy itu bani Hâsyim, dan memilihku dari banî Hâsyim’’ kata Rasulullah suatu hari.
Garis keturunan ini penting, karena manusia pada fitrahnya menghormati silsilah yang terhormat. Di manapun itu, terlebih di Amerika Serikat saat ini. Mereka mencengkeram keyakinan blue blood atau darah biru. Merekalah yang dianggap lapisan paling luhur dari masyarakat, yaitu WASP [White, Anglo, Saxon, Protestant]. Mereka haruslah berkulit putih, berasal dari Inggris golongan Saxon, dan bermazhab Kristen Protestan.
Garis keluhuran nasab pada dasarnya tidak menjadi ruang pertanggungjawaban muslim dalam Islam, karena ia bukan usaha manusia, tapi pilihan Allah. Namun manusia memang lebih menghormati jika seorang pemimpin mempunyai keluhuran nasab. Dan Muhammad, disiapkan untuk menjadi pemimpin para pemimpin, sehingga nasabnya bukan sekadar bersih, tapi garis luhur para pemimpin di kaumnya.
Poin yang menjadi kaidah dakwah bahwa pencetakan generasi masa depan, generasi pemimpin bukanlah dimulai dari pendidikan anak, tapi dari keagungan orang tua, bahkan dari kesucian masa muda mereka. Mungkin generasi baru itu tumbuh dan memukau tetapi dalam beberapa kondisi rusaknya reputasi keluarga bisa menjadi fitnah besar dalam kehidupan dakwah seorang dai kecuali jika ia sudah maksimal dalam usaha perbaikan itu.
Mental kepemimpinan Muhammad bahkan dibangun saat ia dalam gendongan kakeknya. Dalam rapat-rapat resmi tetua kaum, dalam momen-momen diplomasi politik. Saat beberapa pembesar Quraisy memprotes kebiasaan Abdul Muthallib membaca Muhammad kecil ke forum-forum resmi, dengan ringan ia beralasan “biarkan anakku ini, karena demi Allah, ia akan memikul urusan besar’’.
Pengalaman-pengalaman rutin ini membangun mental kepemimpinan seorang da’i. Ia melihat momen-momen para pembesar kaum itu berbicara dan berdebat, berdiplomasi dan bersiasat, menerima tamu dan merencanakan perang, berbisnis bahkan bertarung. Pengalaman-pengalaman itu hidup dalam darah dan daging, bukan sekadar visual seperti membaca, atau auditorial dalam mendengar cerita. Muhammad muda memahami sejak kecil bahwa ada urusan besar dalam hidup manusia, sehingga otaknya tidak disibukkan dengan bermain.
Akumulasi ini yang membangun mental kepemimpinan. Ia bukan pelajaran yang dihafal tapi motivasi yang terus ditiupkan dan disimulasikan dalam pengalaman harian. Seperti saat Mu’awiyyah kecil didoakan seseorang untuk menjadi pemimpin Quraisy, ibunya marah membentak ‘‘celakalah kamu, dia tidak dilahirkan untuk memimpin Arab, tapi dunia’’. Atau seperti Muhammad al-Fâtih kecil yang selalu dibacakan hadits Rasulullah ‘‘Kota Konstantinopel akan dibebaskan, pemimpin terbaik adalah pemimpin yang membebaskannya…’’. Dan tiba-tiba saja ide-ide di ruang pikiran itu mengejawantah di medan kenyataan di masa dewasa mereka. Daulah Umawiyyah yang didirikan Mu’awiyyah dan Daulah Ustmâniyyah yang akhirnya beribu kota Konstantinopel di zaman Muhammad al-Fâtih wilayahnya mencakup tiga benua dan menjadi imperium terkuat di zaman mereka.
Hal ini mengajari kita bahwa di balik para pemimpin besar, ada obsesi luhur yang membara sejak mereka kecil. Obsesi yang tidak rela dengan kondisi zamannya yang hina, obsesi yang ingin mengembalikan kemanusiaan manusia. Dan sejak kecil hingga remaja Muhammad merasakannya. Hanya saat itu ia belum tahu harus memulai dari mana. Dan terlebih ia tidak tahu, bahwa ada rencana Allah yang menanti untuk mendidiknya menjadi pemimpin umat.
Jumat, 20 Juli 2012
Akuntansi Zakat dan Dana Kebajikan
Oleh Dian Yunia Ningsih (Mahasiswa S1 Akuntansi FE Unsri 2009 - KSEI Ukhuwah)
FoSSEISumbagsel - Zakat merupakan kewajiban yang mengikat setiap muslim dan dikenakan atas diri dan harta yang dimiliki oleh muslim. Zakat berbeda dengan pajak. Aturan pajak ditetapkan oleh negara sedangkan zakat ditetapkan oleh Allah SWT yang diatur melalui syariah Islam.
Di Indonesia mengakomodir hal ini melalui UU tentang zakat dan pajak. Dalam UU zakat diketahui bahwa negara akan turut membantu pengelolaan zakat serta dalam UU pajak diketahui bahwa zakat yang dibayarkan kepada Lembaga Amil resmi dapat dianggap sebagai pengurang penghasilan.
Untuk pelaksanaan akuntansi, DSAK telah mengeluarkan ED PSAK 109 tentang akuntansi untuk lembaga amil zakat/ infak dan shadaqah. Sesuai dengan fungsi akuntansi itu sendiri yaitu sebagai transparansi dan pertanggungjawaban maka dengan telah diterbitkan ED PSAK 109 tersebut diharapakan pengelolaan zakat/infak dan shadaqah akan lebih transparan dan emncapai sasaran, sesuai dengan tuntunan syariah.
Ruang lingkup PSAK 109 hanya untuk amil zakat yang menerima dan menyalurkan zakat/infak/ shadaqah, atau organisasi pengelola zakat yang pembentukannya dimaksudkan untuk mengumpulkan dan menyalurkan zakat,infak, shadaqah.
Akuntansi Zakat
1. Penenrimaan zakat diakui pada saat kas atau aset lainnya diterima dan diakui sebagai penambah dana zakat.
Jika diterima dalam bentuk kas :
Kas - Dana Zakat (D) xxx
Dana Zakat (K) xxx
Jika diteriam dalam bentuk non kas maka diakui sebesar nilai wajar aset :
Aset non kas (D) xxx
Dana Zakat (K) xxx
2. Dana zakat diterima diakui sebagai dana amil untuk bagian amil dan dana zakat untuk bagian non amil :
Kas / Aset non kas (D) xxx
Dana amil - amil xxx
Dana Zakat - non amil xxx
3. Penurunan nilai aset zakat diakui sebagai:
a. pengurangan dana zakat, jika terjadi tidak disebabkan oleh kelalaian amil :
Dana Zakat (D) xxx
Aset non kas (K) xxx
b. kerugian dan pengurangan dana amil, jika terjadi karena kelalaian amil :
Dana amil-kerugian (D) xxx
Aset Non kas (K) xxx
4. Penyaluran zaakat kepada mustahiq
a, jika pemberian dilakukan dalam bentuk kas :
Dana Zakat (D) xxx
Kas- Dana Zakat (K) xxx
b. jika pemberian dilakukan dalam bentuk non kas, maka dicatat berdasarkan jumlah yang tercatat :
Dana Zakat (D) xxx
Aset non kas - dana zakat (K) xxx
CATATAN:
Amil harus mengungkap hal-hal berikut terkait dengan transaksi zakat, tetapi tidak terbatas pada:
- Kebijakan penyaluran zakat
- Kebijakan pembagian antara dana amil dan non amil atas penerimaan zakat.
- Metode penentuan nilai wajar yang digunakan untuk penerimaan zakat berupa aset non kas.
- Rincian jumlah penyaluran dana zakat yang mencakup jumlah beban pengelolaan dan jumlah dana yang diterima langsung mustahik
- hubungan istimewa antara amil dan mustahik yang meliputi : sifat hubungan istimewa, jumlah dan jenis aset yang disalurkan, dan persentase dari aset yang disalurkan tersebut dari total penyaluran selama periode.
- Keberadaan dana non halal, jika ada, diungkapkan mengenai kebijakan atas penerimaan dan penyaluran dana, alasan, dan jumlahnya.
- Kinerja amil atas penerimaan dan penyaluran dana zakat dan dana infak/ sedekah.
Akuntansi Dana Kebajikan
1. Penerimaan infak/sedekah
# jika diterima dalam bentk kas :
Kas - Dana kebajikan (D) xxx
Dana Kebajikan (K) xxx
# jika diterima dalam bentuk aset non kas dapat dikelompokkan menjadi aset lancar dan aset tidak lancar :
Aset Lancar- Dana kebajikan (D) xxx
Aset tidak lancar - Dana kebajikan(D) xxx
Dana Kebajikan (K) xxx
2. Penyusutan dari aset tidak lancar diperlakukan sebagai pengurang dana kebajikan terikat apabila penggunaan atau pengelolaan aset tersebut sudah ditentukan oleh pemberi :
Dana kebajikan (D) xxx
Akumulasi penyusutan aset non lancar (K) xxx
3. Penurunan nila aset dana kebajikan
a. Bukan karena kelalaian amil :
Dana Kebajikan - non amil (D) xxx
Aset non kas (K) xxx
b. Karena kelalaian amil :
Dana kebajikan-kerugian (D) xxx
Aset nonkas (K) xxx
4. Penyaluran dana
Dana kebajikan (D) xxx
Kas / Aset nonkas (K) xxx.
Penerimaan nonhalal diakui sebagai dana nonhalal, yang terpisah dari dana zakat, dana kebajikan dan dana amil. Aset non halal disalurkan sesuai dengan syariah.
Laporan Keuangan Lembaga Amil
Terdiri atas :
- Neraca (laporan posisi keuangan)
- Laporan perubahan dana
- Laporan perubahan Aset kelolaan
- Laporan arus kas
- Catatan atas laporan keuangan.
Referensi
Nurhayati,Sri, Wasilah. Akuntansi Syariah di Indonesia.2011. Jakarta: Salemba Empat
Jumat, 13 Juli 2012
Pilar-Pilar Kekuatan Ekonomi Ummat
Oleh : Rizarullah Santoso (Mahasiswa Manajemen FE Unsri 2010 - KSEI Ukhuwah)
FoSSEISumbagsel - Pada
hakikatnya harta bukanlah segalanya, namun tidak dapat dipungkiri jika
segalanya itu membutuhkan harta. Lima perkara yang menjadi pilar utama Islam
itu pun sangat membutuhkan harta. Entah itu syahadat apalagi berhaji ke
baitullah. Sedangkan dalam berdakwah pun. Elemen ini menjadi sebuah elemen
pokok dalam meningkatkan prestisi dan kekuatan dakwah itu sendiri. Bahkan sejak
zaman Rasulullah SAW pun, harta menjadi elemen penting dalam pemenangan dakwah,
terutama di saat peperangan melawan kaum kafirin.
Kemudian yang
menjadi pokok permasalahan umat dewasa ini adalah keterbatasan ilmu dan ketidak
ingin tahuan mereka terhadap seni mengelolanya seperti yang dilakukan oleh Rasulullah.
Bahkan kebanyakan menganggap harta adalah ‘aib bagi dirinya, dan menganggap
harta adalah penuntun diri menuju pintu neraka. Padahal, yang perlu dipahami
adalah bagaimana seninya mengelola harta tersebut sesuai al-Qur’an dan
as-Sunnah.
Banyak referensi
yang tak perlu diragukan legi keabsahannya guna medayahgunakan harta dengan
tepat guna. Menggunakan harta untuk menghidupkan sunnah. Mencari harta dengan
cara mengukuti sunnah. Dan mengelolanya demi kemaslahatan pribadi dan ummat.
Sehingga pada aplikasinya, harta akan sangat berguna bagi penopang penting
kekuatan dakwah. Mungkin penulis akan sedikit berbagi lewat secuil Faktor sekaligus pilar bagi kekuatan Ekonomi Ummat.
Menjauhi Sumber
Penghasilan Haram
Sedikit klise jika kita masih mencoba mencari harta dari jalan yang
batil ini, banyak sekali sumber-sumber baik dustur
Ilahiyah maupun risalah nabawiyah
yang menegaskan tentang pelarangan seorang muslim menjauhi mendapatkan harta
dari cara yang batil. Namun sebaliknya, Islam justru menuntut ummatnya untuk
mencari harta dari cara yang dihalalkan syari’at. Lantas, salah satu penggunaan
harta yang tepat guna dan cara sedikit terlampir pada ayat-ayat dan hadits
berikut ini :
“Tidaklah sekali-kali seseorang makan suatu
makanan yang lebih baik daripada makan dari hasil kerja tangannya sendiri, dan
sesungguhnya Nabi Dawud makan dari hasil tangannya sendiri.” (HR. Al-Bukhari).
“Hai orang-orang yang beriman, makanlah di
antara rizki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada
Allah jika benar-benar hanya kepadaNya kamu menyembah.” (QS Al-Baqarah: 172).
Dalam ayat lain, “Hai sekalian manusia,
makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah
kamu mengikuti langkah syetan, karena syetan itu adalah musuh yang nyata
bagimu.” (QS Al-Baqarah: 168).
Al-Hafidz Ibnu
Mardawih meriwayatkan sebuah hadits dari Ibnu Abbas bahwa ketika dia (Ibnu
Abbas) membaca ayat : berdirilah Sa’ad bin Abi Waqash kemudian berkata: “Ya
Rasulullah, do’akan kepada Allah agar aku senantiasa menjadi orang yang
dikabulkan do’anya oleh Allah.” Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaih wa sallam
bersabda : “Wahai Sa’ad perbaikilah makananmu (makanlah makanan yang halal)
niscaya engkau akan menjadi orang yang selalu dikabulkan do’anya. Dan demi
jiwaku yang ada di tanganNya, sungguh jika ada seseorang yang memasukkan
makanan haram ke dalam perutnya, maka tidak akan diterima amal-amalnya selama
40 hari, dan seorang hamba yang dagingnya tumbuh dari hasil menipu dan riba
maka neraka lebih layak baginya (HR. At-Thabrani)
Mungkin,
hadits dan ayat diatas, cukuplah menegaskan bahwa betapa pentingnya bagi kita
menjahi mencari harta dari jalan batil. Namun, pada dasarnya, kita pun
butuhpenjelasan yang lebih ilmiah dari sekadar sumber ilahiyah saja yang
sebenarnya ilmu kita belum mempunyai kapasitas yang kuat untuk meterjemahkannya
secara tepat.
Sedikit memberikan penjelasan,
mengapa kita harus menjauhi hal demikian. Sebelumnya ci=oba kita renungkan,
apakah kita hidup sendirian, dan apakah harta itu menopan kita sendirian, dan
apakah kita dapat mencarinya sendirian?. Saya rasa pertanyaan tersebut cukup
untuk menjawab pertanyaan kita. Ya, harta itu pun dibutuhkan oleh satu sama
lain, sehingga. Kita taka da hak mendapatkannya dengan cara yang batil sehingga
merugikan orang lain.
Menjauhi
Riba
Jika bicara soal riba, saya teringat sebuah hadits yang cukup
mengangkat bulu kuduk ini dan menjadi bayang-bayang di siang dan malam. Coba kita
simak hadits-hadits dibawah ini :
Dari Ibnu Mas’ud ra bahwa
Nabi saw bersabda, “Riba itu mempunyai
tujuh puluh tiga pintu, yang paling ringan (dosanya) seperti seorang anak
menyetubuhi ibunya.” (Shahih: Shahihul Jami’us Shaghir no: 3539 dan
Mustadrak Hakim II: 37).
Dari Abdullah bin
Hanzhalah ra dari Nabi saw bersabda, “Satu
Dirham yang riba dimakan seseorang padahal ia tahu, adalah lebih berat
(dosanya) daripada tiga puluh enam pelacur.” (Shahih: Shahihul Jami’us
Shaghir no: 3375 dan al-Fathur Rabbani XV: 69 no: 230).
Sedikit Pengertian Riba, Jadi pada dasarnya, Kata
Ar-Riba adalah isim maqshur, berasal dari rabaa-yarbuu, yaitu akhir kata ini
ditulis dengan alif. Asal arti kata riba adalah ziyadah ‘tambahan’. Adapun
pengertian tambahan dalam konteks riba, adalah tambahan uang atas modal yang di
peroleh dengan cara yang tidak di benarkan syara. Apakah tambahan itu berjumlah
sedikit maupun jumlah banyak seperti yang diisyaratkan dalam al-Quran :
“Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah dan
tinggalkanlah sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang
beriman. Jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka
permaklumkanlah bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu
bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kami tidak
menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.” (QS Al-Baqarah: 278-279).
Dari beberapa penjelasan
ayat dan hadits sebelumnya, sudah jelaslah, kenapa kita selaku muslim sangat
dilarang dalam menumbuh-suburkan riba’. Alangkah indahnya ketika dunia ini
tanpa riba’, semua orang akan hidup damai, adil dan sejahtera. Karena pada
hakikatnya, orang-orang pemakan riba itu bagaikan seorang yang kerasukan
syetan, seperti dijelaskan pada ayat berikut :
"Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan
seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit
gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata
(berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah
menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai
kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba),
maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum
datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali
(mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal
di dalamnya." (QS Al-Baqarah : 275)
Yang kita ketahui, satu
orang saja kemasukan syetan, sudah sangat merepotkan, apalagi 3, 4, 5 bahkan
sepuluh orang.
Lantas keharaman riba’
pun semakin tegas pada ayat diatas, “sesungguhnya jual beli itu sama dengan
riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”. Lantas
apalagi yang membuat alasan untuk kita masih mempertahankan riba’.
Menjauhi Segala Macam Jenis Perjudian (Maisir)
Mungkin dari awal tadi, saya terlalu banyak menggunakan dalil-dalil dari Al-Quran dan Hadits tanpa penjelasan yang terperinci. Mungkin pada point ini saya akan lebih banyak menguraikan daripada memposting ayat dan hadits. Namun sebelum itu, ada sebuah ayat pembuka yag ingin saya sajikan :
Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: 'Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfa'at bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfa'atnya'. Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: ' Yang lebih dari keperluan.' Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berfikir, (QS. Al-Baqarah: 219)
Dari ayat diatas, sudah jelaslah bagaimana keharaman dalam berjudi. Berjudi pada wujudnya dapat berupa mengundi dan memiiki unsur ketidak pastian yang tinggi. Judi atau dikenal dengan istilah maisir sangat beririsan dan berkaitan dengan spekulasi. Spekulasi yang sifatnya gharar sangatlah merugikan. Baik merugikan diri sendiri, maupun orang lain.
Jika satu dari kita melakukan perjudian, kemudian yang melakukan perjudian itu kalah, maka secara pribadi, kita akan rugi finansial. Sudah rahasia umum, judi itu untung-untungan, artinya, tidak semua orang bisa menang dan peluangnya sangat kecil. Belum lagi yang menjadi broker atau Bandar judi tersebut adalah non muslim, maka uang-uang yang telah terpakai tadi akan menjadi milik mereka dan semakin memudahkan ‘dakwah negatifnya’ itu kepada tangga kesuksesan. Nah, itu baru satu orang yang melakukan perjudian, jika ada seper sepuluh saja dari umat yang melakukannya, maka tunggu saja kehancuran kita.
· Menjauhi Penipuan
Apa yang anda rasakan jika anda ditipu? Sakit? Ingin marah? Atau? Ya, kita paham, siapa saja yang ditipu, tentu akan merasa gusar dan dongkol. Maka, saya berharap dan menghimbau, semua dari kita tidak ada yang melakukan penipuan, terutama dalam menjunjung etika berbisnis seorang muslim.
Insya Allah, orang-orang yang membaca makalah ini adalah orang-orang yang terjauhkan dari perbuatan tersebut. Karena pada hakikatnya, orang yang melakukan penipuan sesungguhnya mendapatkan kerugian yang tidak tanggung-tanggung. Kerugian yang pertama adalah kerugian dunia, yang kedua adalah kerugian akhirat.
Apa saja yang menjadi kerugian dunia? Yang menjadi kerugian dunia akan kita kaitkan dengan pertanyaan diawal sub bahasan ini. Kira-kira, siapa yang akan berbisnis dengan seorang penipu (kalau ketahuan), dan siapa pula yang akan berbisnis dengan orang yang sudah jelas-jelas pernah menipu. Saya rasa, tidak ada, dan meskipun ada, dia adalah yang paling tidak mengetahui cara berbisnis. Maka yang saya simpulkan, anda tidak akan pernah mendapatkan keuntungan dari sebuah penipuan, karena anda kehilangan elemen terpenting dalam mencari keuntungan, yaitu pelanggan.
Kemudian ada pula kerugian dunia yang berkaitan dengan hukum dunia, yang tertuang di dalam KUHP, yang diatur dalam bab XXV pasal 378 sampai dengan 395. Dalam rentang pasal-pasal tersebut, kemudian berubah menjadi bentuk-bentuk penipuan yang lebih khusus. Bentuk-Bentuk Penipuan, Unsur, dan Akibat Hukumnya
Dan yang kedua adalah kerugian akhirat, teringat sebuah riwayat sbb :
“Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pernah melewati setumpuk makanan, lalu beliau memasukkan tangannya ke dalamnya, kemudian tangan beliau menyentuh sesuatu yang basah. Maka beliaupun bertanya, “Apa ini wahai pemilik makanan?” Dia menjawab, “Makanan tersebut terkena air hujan wahai Rasulullah.” Beliau bersabda, “Mengapa kamu tidak meletakkannya di bagian atas agar manusia dapat melihatnya?! Barangsiapa yang menipu maka dia bukan dari golonganku.” (HR. Muslim)
Kita semua tentu tahu dan paham, orang-orang yang bukan merupakan golongan rasul adalah orang orang yang tidak akan mendapatkan pertolongan di hari yang menjadi hari yang kekal nanti.
Membayar Zakat
Salah satu pilar penguat bangunan Islam adalah menunaikan zakat. Pilar inilah yang menjadi rangka terkuat dalam kekuatan ekonomi Ummat. Secara tersurat perintah zakat adalah perintah menuanaikan zakat, itu berarti setiap muslim haru menuanikan zakat jika ingin memperkuat kekuatan Islam. Sedangkan secara tersirat, maksud dari perintah ini mewajibkan muslim untuk kaya. Karena yang kita ketahui, seorang muzakki bukanlah berasal dari orang yang miskin. Nashab zakat untuk dinar saja adalah sebanyak 20 dinar (1 dinar=Rp 2.300.000). nah, inilah yang menjadi salah satu sumber pendanaan yang cukup besar bagi perkonomian ummat muslim.
Pada masa khalifah Umar bin Khattab, selain pendapatan Negara berasal dari ghanimah (rampasan perang), pendapatan negara uga berasal dari zakat dan jizyah (pajak non muslim).
Rutin Berinfak & Menghidupkan Wakaf
Sepertinya tidak ada satupun orang yang rela meninggalkan infaq dan wakaf jika tahu apa keutamaannya, mungkin kebanyakan dari kita sedikit menganggap remeh soal menyoal berinfaq dan wakaf. Keutamaan infaq itu sendiri sangat istimewa, semakin banyak kita berinfaq, justru semakin banyak rezeki yang kita dapat. Disamping itu sudah pasti ganjaran yang kita dapatkan adalah ganjaran yang paling berharga. Yakni pahala, seperti firman Allah sebagai berikut :
“Orang-orang yang menafkahkan hartanya di malam dan di siang hari secara tersembunyi dan terang-terangan, maka mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (QS al-baqarah : 24).
Selain itu, setelah pahala, yang kita dapatkan adalah manfaat besar di dunia, berupa materi seperti ayat berikut ini :
"Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui." (QS : Al-Baqarah : 261)
Maka sudah sebuah kepastia bahwa Islam sangat membutuhkan elemen ini dalam meningkatkan kekuatan perekonomiannya. Tidak hanya kekuatan ekonomi secara mikro (individu), namun pula kekuatan ekonomi secara makro (Negara).
Membiasakan Menabung, Meski Sedikit
Tabungan dalam Islam jelas merupakan sebuah konsekwensi atau respon dari prinsip ekonomi Islam dan nilai moral Islam, yang menyebutkan bahwa manusia haruslah hidup hemat dan tidak bermewah-mewah serta mereka (diri sendiri dan keturunannya) dianjurkan ada dalam kondisi yang tidak fakir. Jadi dapat dikatakan bahwa motifasi utama orang menabung disini adalah nilai moral hidup sederhana (hidup hemat) dan keutamaan tidak fakir.
Tingkat tabungan dari seorang individu dalam teori Islam juga tidak terlepas dari pertimbangan kemashlahatan ummat secara keseluruhan. Pada kondisi tertentu dimana masyarakat begitu membutuhkan harta atau dana, maka individu yang memiliki dana lebih, akan mengurangi tingkat tabungannya atau lebih tepatnya mengurangi tingkat kekayaannya untuk membantu masyarakat yang kekurangan. Mekanisme ini dapat berupa mekanisme sukarela atau mekanisme yang mengikat, artinya negara memiliki wewenang dalam memaksa individu yang berkecukupan untuk membantu masyarakat yang membutuhkan, dengan mengenakan pajak khusus atau dikenal dengan nawaibpada masyarakat golongan kaya. Dengan demikian tingkat tabungan dalam Islam memiliki korelasi yang kuat dengan kondisi ekonomi.
Bagaimana hubungan tingkat tabungan ini dengan tingkat investasi dalam sebuah perekonomian Islam? Tabungan dalam ekonomi Islam tidak begitu kuat dihubungkan dengan investasi. Karena ketika tabungan dimotifasi oleh alasan berjaga-jaga, hidup hemat dan sederhana, maka tidak relevan akumulasi tabungan ini kemudian digunakan untuk investasi yang mekanismenya dalam Islam menggunakan skema bagi-hasil yang memiliki risiko rugi. Risiko yang dimiliki investasi bagi hasil tidak begitu sinkron dengan alasan para pemilik uang untuk menahan uangnya berupa tabungan. Meskipun hubungan itu akhirnya terjadi akibat mekanisme perbankan syariah saat ini yang menggunakan benchmark konvensional, dimana pos tabungan berjaga-jaga masyarakat dapat digunakan oleh bank pada sisi pembiayaannya, konsekwensinya pada sisi pendanaan bank syariah memberikan bonus kepada para nasabah tabungan yang bermotif berjaga-jaga tersebut. Selain itu, berdasarkan motif dan realita masyarakat Islam seperti yang telah dijelaskan dalam pembahasan konsumsi dan permintaan, bahwa masyarakat Islam terdiri atas masyarakat muzakki, mid-income dan mustahik, dapat disimpulkan bahwa mereka yang aktif dalam menabung adalah mereka yang masuk dalam golongan muzakki dan mid-income. Dan akumulasi tabungan secara teori akan relatif kecil jika dibandingkan akumulasi investasi, yang berarti juga peran tabungan dalam perekonomian akan relatif kecil. Dengan demikian tabungan tergantung pada besarnya pendapatan yang porsinya ditentukan oleh kebutuhan berjaga-jaganya. Dan ini perlu dirumuskan lebih spesifik untuk dapat mengkalkulasikan posisi dan peran tabungan dalam perekonomian.
Hubungan tabungan dan investasi dalam perekonomian Islam yang khas ini memang berbeda dengan apa yang dimiliki oleh konvensional. Sehingga perlu sebuah konsep pendekatan analisa ekonomi yang mampu memberikan penjelasan yang cukup tepat tentang posisi serta hubungan tabungan dan investasi dalam sistem ekonomi Islam, juga peran keduanya dalam memajukan kesejahteraan ekonomi.
Wallahu 'alam Wisshowaf...
Baca Juga :
Sense of Sharia Insurance
Penulis : Abdurrahman (Akuntansi 2011 FE Unsri - KSEI Ukhuwah)
FoSSEISumbagsel - Setelah memahami asuransi dalam pandangan islam, mungkin akan
ada sedikit persepsi bahwa pelaksanaan asuransi konvensional dengan teori islam
mengenai asuransi sedikit berbeda. Hal ini terlihat jelas pada sistem
pelaksanaannya yaitu akad kerjasamanya. Dilihat dari segi transaksi, asuransi
konvensional lebih pada akad sepihak yang mengharapkan keuntungan dari asuransi itu
baik dari tertanggung maupun penanggung dimana tertanggung ingin mendapat
keuntungan berupa penjaminan, dan penanggung mengharapkan keuntungan laba
(uang). Sangat kontras memang bila ditelisik dari sudut islam, yang mana
asuransi syariah berkonsentrasi pada dasar saling tolong menolong umat yang
berkoordinasi dalam mengumpulkan dana untuk mempersiapkan suatu hal buruk yang
mungkin akan terjadi, dan uang yang terkumpul semata-mata untuk menanggung
kerugian anggota bukan untuk berspekulasi mencari keuntungan. Lagipula asuransi
syariah ini lebih bersifat “tabungan masa depan” yang disalurkan dalam bentuk
amal yaitu menolong umat (anggota) yang sedang berada dalam kesulitan.
Di sisi lain juga, asuransi konvensional berakad dengan
keputusan sepihak bukan kesepakatan antara suka sama suka. Serta dalam
pelaksanaannya bisa terjadi “memakan harta secara batil” yang mana ini berasal
dari keuntungan diatas kerugian.
Maksudnya ialah penanggung mendapat keuntungan diatas kerugian
tertanggung yang sudah membayar premi tetapi kerugian/peristiwa buruk/Evenement
tidak terjadi. Dan kebalikannya.
Allah SWT
berfirman :
“Hai orang-orang
yang beriman, janganlah kamu memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil,
kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara
kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah maha
penyayang kepadamu.” (QS. An-Nisa;29)
Membunuh disini maksudnya ialah janganlah
masuk kedalam jurang keburukan yang mana bila diartikan dapat berupa larangan
membunuh dalam arti mencelakakan orang lain dengan jalan yang batil. Tentu sebagai umat muslim, kita wajib
menghindari hal-hal yang berbau batil. Dilanjutkan dalam QS. An-Nisa:30, dimana
Allah akan membalas dengan Neraka bagi barang siapa melanggar hak dan aniaya.
Selanjutnya, asuransi syariah justru lebih
berprinsip tabarru (berdasarkan keinginan untuk tolong menolong tanpa mengutamakan
keuntungan/kerugian) yang mana kegiatannya untuk menciptakan
kemaslahatan/kesejahteraan umat (anggota). Tentu hal ini merupakan syariat yang
dibenarkan dalam islam dimana kehidupan itu harus menimbulkan kemaslahatan yang
baik bagi orang banyak. Sama seperti asuransi ini. Asuransi ini merupakan salah
satu cabang dari sekian ilmu fiqh mua’amalah yang beragam yang bisa dikaji
untuk menciptakan kehidupan yang bermanfaat bagi sekelilingnya bergaya islami
namun mendapat ridho dari sang ilahi.
Sedikit banyak kita telah mengenal
asuransi di mata islam yang telah dikemukakan sebelumnya. Konteks
pelaksanaannya pun telah dijabarkan dalam susunan materi tersendiri yang
tersebar di berbagai media. Kepekaan kita terhadap ilmu Allah haruslah diusung
dengan kuat, mengingat ilmu yang
dianjurkan dalam islam tentu memiliki manfaat yang besar di diri kita, seperti
Asuransi syariah yang bermanfaat dalam menciptakan kemaslahatan dan keadilan bagi
manusia yang diaplikasikan dengan ilmu islam. Subhanallah, memang ilmu yang
berbau islam pada hakekatnya membawa suatu keberkahan.
Tentu
setelah membaca artikel saya tersebut, diharapkan untuk dapat menjalani hidup
ini yang sesuai dengan jalan agama bernaskan syariat yang diridhoi oleh Allah
SWT. Dalam hal ini asuransi berbau islam merupakan hal yang kecil untuk dibahas
namun begitu penting dampaknya dalam membentuk karakter ekonomi robbani dalam
jiwa muslim dan muslimah. Kita tentu juga ingat bahwa kita hidup untuk mencari
keridhoan Allah. Untuk mencapai tujuan tersebut, kita harus mengikuti syariat
yang telah diperintahkan dan cobalah untuk menjauhi segala yang menimbulkan
keburukan bagi diri kita. Ayo teman-teman, akhi, ukhti untuk sama-sama berusaha
untuk menggunakan dan menerapkan ilmu islam di setiap produk dunia ini agar
kita mendapat keberkahan dan keridhoan dari Allah SWT. Aaaamiin.
Artikel Sebelumnya :
Kamis, 12 Juli 2012
Berbagai Definisi Ekonomi Islam dari Para Ahli dan Fuqaha
FoSSEISumbagsel - Ekonomi dalam Islam adalah ilmu yang mempelajari segala prilaku manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya dengan tujuan memperoleh falah (kedamaian & kesejahteraan dunia-akhirat).
Kata Islam setelah Ekonomi dalam ungkapan Ekonomi Islam berfungsi sebagai identitas tanpa mempengaruhi makna atau definisi ekonomi itu sendiri. Karena definisinya lebih ditentukan oleh perspektif atau lebih tepat lagi worldview yang digunakan sebagai landasan nilai.
Pada tingkat tertentu isu definisi Ekonomi Islam sangat terkait sekali dengan wacana Islamisasi Ilmu Pengetahuan (Islamization of Knowledge) Science dalam Islam lebih dimaknakan sebagai segala pengetahuan yang terbukti kebenarannya secara ilmiah yang mampu mendekatkan manusia kepada Allah SWT (revelation standard – kebenaran absolut). Sedangkan Science dikenal luas dalam dunia konvensional adalah segala ilmu yang memenuhi kaidah-kaidah metode ilmiah (human creation – kebenaran relatif).
Prilaku manusia disini berkaitan dengan landasan-landasan syariat sebagai rujukan berprilaku dan kecenderungan-kecenderungan dari fitrah manusia. Dan dalam ekonomi Islam, kedua hal tersebut berinteraksi dengan porsinya masing-masing hingga terbentuklah sebuah mekanisme ekonomi yang khas dengan dasar-dasar nilai Ilahiyah.
Berikut ini definisi Ekonomi dalam Islam menurut Para Ahli :
1. S.M. Hasanuzzaman,
“ilmu ekonomi Islam adalah pengetahuan dan aplikasi ajaran-ajaran dan aturan-aturan syariah yang mencegah ketidakadilan dalam pencarian dan pengeluaran sumber-sumber daya, guna memberikan kepuasan bagi manusia dan memungkinkan mereka melaksanakan kewajiban-kewajiban mereka terhadap Allah dan masyarakat.”
2. M.A. Mannan,
“ilmu ekonomi Islam adalah suatu ilmu pengetahuan social yang mempelajari permasalahan ekonomi dari orang-orang memiliki nilai-nilai Islam.”
3. Khursid Ahmad,
ilmu ekonomi Islam adalah “suatu upaya sistematis untuk mencoba memahami permasalahan ekonomi dan perilaku manusia dalam hubungannya dengan permasalahan tersebut dari sudut pandang Islam.”
4. M.N. Siddiqi,
ilmu ekonomi Islam adalah respon “para pemikir muslim terhadap tantangan-tantangan ekonomi zaman mereka. Dalam upaya ini mereka dibantu oleh Al Qur’an dan As Sunnah maupun akal dan pengalaman.”
5. M. Akram Khan,
“ilmu ekonomi Islam bertujuan mempelajari kesejahteraan manusia (falah) yang dicapai dengan mengorganisir sumber-sumber daya bumi atas dasar kerjasama dan partisipasi.”
6. Louis Cantori,
“ilmu ekonomi Islam tidak lain merupakan upaya untuk merumuskan ilmu ekonomi yang berorientasi manusia dan berorientasi masyarakat yang menolak ekses individualisme dalam ilmu ekonomi klasik.”
Ekonomi adalah masalah menjamin berputarnya harta diantara manusia, sehingga manusia dapat memaksimalkan fungsi hidupnya sebagai hamba Allah untuk mencapai falah di dunia dan akherat (hereafter). Ekonomi adalah aktifitas yang kolektif.