Sabtu, 09 Juni 2012

Mengapa (Harus) Ada Ekonomi Islam?



Pak Masyhudi dan Todi akhirnya sampai di kawasan Gowok, sebelah Selatan Plaza Ambarukmo, tepatnya di warung kopi Blandongan. Todi tidak bisa menutupi rasa riangnya ketika tempat mereka tuju adalah sebuah warung kopi. Warung kopi ini menyediakan kopi istimewa yang diolah langsung dari biji yang diperoleh pemilik warung.
Pak Masyhudi langsung memesan dua cangkir kopi sebelum pantatnya menyentuh kursi.
“Dua cangkir, Mas!”, pinta pak Masyhudi kepada penjual kopi. Penjual itu tersenum sambil memberi tanda bahwa ia paham apa yang diminta.
Dengan wajah sumrigah, Todi mencari tempat duduk di dalam warung yang bisa dibilang cukup sederhana.
“Sudah biasa disini ya Pak?”
“Jelas, tempat ini adalah salah satu tempat favoritku”, jawab Pak Masyhudi berbisik kepada Todi.
“Pantas”, kata Todi lirih sambil mengangguk-anggukan kepala.
Tidak lama kemudian penjual kopi itu datang sambil menyajikan dua cangkir kopi. Bau harum kopi Blandongan melelehkan air liur mereka berdua. Todi menuangkan kopi itu pada piring kecil supaya cepat dingin.
“Ehmm nikmat menyengat”, desah Todi merasakan cairan kopi masuk kerongkongan.
Pak Masyhudi hanya tersenyum melihat Todi sibuk dengan cangkir dan piring kecil di depannya. Kopi Blandongan memiliki kekentalan dan rasa pahit yang pas, disajikan dalam porsi yang tepat dalam cangkir kecil. Kekentalan kopinya bahkan bisa dilihat dari ampas kopi yang tertinggal dalam cangkir ketika telah selesai menikmati kopi yang disajikan.
“Mengapa Ekonomi Islam itu ada, Pak?” Tanya Todi tiba-tiba kepada Pak Masyhudi yang sedang terhanyut oleh menikmati kopi Blandongan.
“Sesuatu yang ada di dalam kehidupan kita pasti memiliki alasan mengapa harus ada, kalau sesuatu ada tetapi tidak memiliki alasan mengapa harus ada maka, keberadaannya sia-sia. Sesuatu yang sia-sia tidak mungkin ada karena semua yang ada di dunia ini memiliki mengapa sesuatu itu ada.”
“Kok sampai ada dan tidak ada?”, Todi belum mampu menangkap penjelasan Pak Masyhudi sambil menggaruk-garuk kening.
“Ada alasan karena sesuatu keadaan menjadi ada harus memenuhi kaidah sebab dan akibat”
“Tetapi tidak semua akibat ada sebabnya, kan?, dan tidak semua yang ada harus ada alasannya!”
”Bukan tidak ada sebab!, tapi manusia belum menemukan sebab dari adanya sesuatu sehingga menjadi ada. Dulu orang belum tahu mengapa Bumi mengelilingi matahari? mengapa bumi berputar pada porosnya? mengapa air laut asin!”
“Ya” sahut  Todi mulai paham.
“Oleh karenanya kita sulit menerima sesuatu yang tidak ada karena tiadanya sebab dari keberadaannya. Misalnya zat-zat yang gaib; Allah, Malaikat dan Setan itu zat gaib dan keberadaan dari sisi materi tidak nyata tetapi fungsi keberadaannya nyata yaitu, Allah sebagai sang pencipta alam semesta yang membuat alam semesta dan segala isinya menjadi ada, dan malaikat sebagai pembantu-Nya”
“tetapi tidak seluruh manusia percaya kalau zat-zat itu nyata, karena mereka masih mempertanyakan sebab dari keberadaan zat-zat itu”
“Ekonomi Islam pasti ada alasannya mengapa harus ada, tidak bisa dikatakan sia-sia karena tidak nyata, kan?”
“Alasannya ada!, memberikan kesejahteraan dan kebahagiaan bagi manusia melalui bank dan lembaga keuangan syariah!Namun apakah sekedar bank dan lembaga keuangan syariah saja jalan untuk membuat manusia sejahtera dan bahagia?, karena banyak juga orang merasa bahagia dan sejahtera berhubungan dengan bank konvensional!. Kalau mereka mereka merasa bahwa bank dan lembaga keuangan syariah lebih memberikan kesejahteraan dan kebahagiaan bagi mereka tentunya mereka akan pindah ke bank dan lembaga keuangan syariah, tetapi mereka bertahan di bank dan lembaga keuangan konvensional”
Todi tidak setuju dengan pendapat Pak Masyhudi yang dianggap membela ekonomi konvensional, “Saya tidak setuju kalau ekonomi konvensional juga memberikan kesejahteraan dan kebahagiaan!” kata Todi dengan suara Parau
Pak Masyhudi melihat Todi bicara dengan emosi, “Sejak lima abad yang lalu dari masa merkantilis sampai sekarang sejarah mencatat kemajuan ekonomi Negara-negara barat dan ternyata sistem ekonomi yang digunakan bukan ekonomi islam melainkan konvensional.”
Emosi Todi terpancing dengan pernyataan pak Masyhudi dengan suara yang berat Todi menimpali, ”tetapi dengan ekonomi Islam, manusia akan berpahala dan masuk sorga, sedangkan konvensional jelas akan membuat manusia berdosa dan jelas masuk neraka!”
Suasana warung kopi ini seperti terasa begitu sempit dan detak jatung pun terasa terdengar keras. Walaupun warung itu nampak luas, tempat duduk pengunjungnya berkonsep lesehan dan tanpa sekat memungkinkan menampung banyak orang. Terasa menikmati suasana kedai kopi di daerah pedesaan dengan penerangan lampu-lampu kuning dan dinding bambu. Bila lapar karena terlalu lama berkumpul, bisa menikmati makanan kecil seperti kacang dan gorengan yang bisa menjadi pengganjal perut.
“Dulu Negara-negara muslim jaya dimasa Rasulullah, Khulafaurrasyidin, Umayyah dan Abbasiyah dan pada waktu itu barat dalam masa kegelapan, apakah itu tidak membuktikan bahwa ekonomi islam lebih baik dari ekonomi konvensional”, kata Todi dengan nada tinggi
“Bagaimana dengan sekarang? Apakah Negara muslim lebih maju disbanding Negara-negara barat yang notabennya non Muslim? Apakah ini artinya dampak ekonomi islam sama saja dengan ekonomi konvensional bagi manusia!”, Pak Masyhudi bertanya kembali kepada Todi yang mulai gusar dengan beberapa pertanyaan yang ditunjukkan kepadanya.
“Karena sekarang tidak ada Negara muslim yang sesuai dengan Al-Quran dan Al-Hadits sebagaimana Negara-negara barat”
“Sama artinya kamu ingin mengatakan bahwa dengan tidak menggunakan Al-Quran dan Al-Hadits, Negara-negara barat telah menjadi negara-negara yang maju…. !?”
“Uh…”
“Semestinya kalau Negara Muslim pernah maju di abad pertngahan, sekarang ini tentunya lebih maju karena konsep kemajuan Negara Muslim sudah ditemukan; Negara akan maju kalau sesuai dengan Al-Quran dan Al-Hadits!”
“Ya Ekonomi Islam ada karena memang harus ada!”, sahut Todi dengan wajah mengeras.
Pak Masyhudi meneguk kopi Blandongan yang masih hangat sambil mata menatap Todi. “Tod, apa yang ada di dunia ini bagi manusia pasti memiliki alasan mengapa harus ada karena apa yang dilakukan manusia dalam menyusun sesuatu, dari sesuatu sebelumnya tidak ada menjadi ada, sesuatu yang lama menjadi baru, dan baru memiliki alasan karena ada manfaat dari apa yang tersusun itu menjadi ada dan baru”
“Ya…”
“Oleh karena setiap segala sesuatu yang ada dan baru bagi―logika umum―manusia diharuskan ada manfaat sebagai alasan dibuatnya sesuatu.”
“Maksudnya…?”
“Contoh, pakaian dibuat untuk melindungi dari panas dan dingin, kendaraan dibuat untuk memindahkan kita dari satu tempat ke tempat lain, rumah dibuat untuk tempat kita berlindung, dll”
“Dan seharusnya Ekonomi Islam harus memiliki manfaat sebagai alasan atas keberadaannya di dunia ini”, sahut Todi menekankan.
“Ya, kalau manusia memang punya alasan untuk menciptakan sesuatu untuk jadi ada atau jadi baru, tapi apakah seluruh yang ada di dunia ini adalah hasil ciptaan manusia? Sehingga menusia mengetahui fungsi setiap sesuatu yang ada di dunia ini?”
“Tidak!”
“Apakah kamu mengetahui untuk apa ada tanaman-tanaman kecil di puncak gunung yang tidak ada manusianya? apa fungsi diciptakannya ikan yang ada di kedalaman laut yang gelap dan sunyi dimana manusia akan mati bila berada disana, dan contoh lain sebagainya!”
“Tidak, karena semua itu tidak ada manfaat bagi manusia!” kata Todi mulai merasa tenang.
“Artinya, manusia memahami bahwa ada atau tidaknya sesuatu di dunia ini tergantung dari nilai manfaat bagi manusia itu sendiri”
“Dan bukan bagi Allah!” sahut Todi dengan suara yang tegas.
“Ya, bukan bagi Allah!”
“Lantas, hubungannya dengan Ekonomi Islam?”
“Banyak dari kita memahami ekonomi Islam itu ada di dunia ini karena nilai kegunaan dan manfaat dari sudut pandang manusia. Ekonomi Islam ada karena bermanfaat bagi kehidupan manusia. Namun kalau logika itu yang dipakai bukan hanya ekonomi islam saja yang bermanfaat bagi manusia secara umum, tetapi juga ekonomi kapitalis, sosialis, pancasila dan lain-lain.”
“Benar, logika kita akan cenderung mengajarkan untuk apa ekonomi-ekonomi itu ada. Ya, karena manfaatnya” sahut Todi membenarkan kata-kata Pak Masyhudi.
“Jadi nggak ada bedanya kan? Lalu apa yang mengharuskan Ekonomi Islam ada?”
“Ya, apa Pak?” Todi balik bertanya.
“Karena Ekonomi Islam bukan semata-mata ada karena alasan kemanfaatan bagi manusia tetapi karena Allah memiliki alasan untuk menciptakannya menjadi ada. Mengapa Allah menciptakan ekonomi Islam? karena manfaatnya bagi Makhluk-Nya yaitu, Manusia. Namun belum tentu setiap manusia memahami manfaatnya, mengapa Allah menciptakan sesuatu yang ada dimuka bumi ini!.”
“Lalu?”
“Karena setiap manusia tidak merasakan langsung manfaat setiap apa yang diciptakan Allah?”
“Tidak merasakan langsung?”
“Kalau tidak ada manfaatnya untuk apa Allah menciptakan semua itu, ya seperti kamu tadi, apa manusia bisa memahami manfaat ikan yang ada di kedalaman lautan yang gelap dan sunyi..”
“Ehmmmmm…ya”
“Setiap ciptaan Allah pasti bermanfaat bagi manusia, namun belum tentu setiap apa yang diciptakan Allah dan menjadi ada di dunia ini manfaatnya akan dirasakan langsung bagi setiap manusia. Mengapa ini bisa terjadi? Karena manusia mengukur nilai kemanfaatan apa yang ada di Dunia ini menurut ukuran manusia. Manusia tidak menggunakan, atau tidak bisa menggunakan ukuran Allah di dalam menciptakan sesuatu di dunia ini, maka tidak sama kemanfaatan atas keberadaan ekonomi Islam dan ekonomi konvensional di dunia ini, karena ekonomi Islam yang menciptakan Allah SWT sedangkan ekonomi konvensional diciptakan oleh manusia”
“Maka Ekonomi Islam harus ada!?”
“Bila telah mengimani Allah sebagai tuhan dan Muhammad sebagai rasul-Nya, maka manusia akan yakin bahwa Allah menciptakan segala sesuatu yang ada di Dunia ini, sudah pasti bermanfaat bagi kehidupan manusia. Oleh karenanya meyakini Allah sebagai tuhan sama halnya meyakini ekonomi Islam sebagai ciptaan Allah―yang tercantum dalam al-Quran, al-Hadits dan sunah-Nya. Maka keyakinan manusia akan kekuasaan, kekuatan, kebenaran dan kecerdasan Allah akan membuat Ekonomi islam itu ada dan nyata dalam pandangan rohani dan jasmani manusia”
“Keyakinan… Keimanan… hmm!” ucap Todi lirih terhanyut oleh kata-kata pak Masyhudi.
“Ya, Ekonomi Islam hanya bisa dibeli dengan keimanan.

Oleh : Heri Sudarsono, 24 Agustus 2010
            (dengan pengubahan)

0 komentar:

Posting Komentar