Oleh : Rizarullah Santoso (Mahasiswa Manajemen FE Unsri 2010 - KSEI Ukhuwah)
FoSSEISumbagsel - Pada
hakikatnya harta bukanlah segalanya, namun tidak dapat dipungkiri jika
segalanya itu membutuhkan harta. Lima perkara yang menjadi pilar utama Islam
itu pun sangat membutuhkan harta. Entah itu syahadat apalagi berhaji ke
baitullah. Sedangkan dalam berdakwah pun. Elemen ini menjadi sebuah elemen
pokok dalam meningkatkan prestisi dan kekuatan dakwah itu sendiri. Bahkan sejak
zaman Rasulullah SAW pun, harta menjadi elemen penting dalam pemenangan dakwah,
terutama di saat peperangan melawan kaum kafirin.
Kemudian yang
menjadi pokok permasalahan umat dewasa ini adalah keterbatasan ilmu dan ketidak
ingin tahuan mereka terhadap seni mengelolanya seperti yang dilakukan oleh Rasulullah.
Bahkan kebanyakan menganggap harta adalah ‘aib bagi dirinya, dan menganggap
harta adalah penuntun diri menuju pintu neraka. Padahal, yang perlu dipahami
adalah bagaimana seninya mengelola harta tersebut sesuai al-Qur’an dan
as-Sunnah.
Banyak referensi
yang tak perlu diragukan legi keabsahannya guna medayahgunakan harta dengan
tepat guna. Menggunakan harta untuk menghidupkan sunnah. Mencari harta dengan
cara mengukuti sunnah. Dan mengelolanya demi kemaslahatan pribadi dan ummat.
Sehingga pada aplikasinya, harta akan sangat berguna bagi penopang penting
kekuatan dakwah. Mungkin penulis akan sedikit berbagi lewat secuil Faktor sekaligus pilar bagi kekuatan Ekonomi Ummat.
Menjauhi Sumber
Penghasilan Haram
Sedikit klise jika kita masih mencoba mencari harta dari jalan yang
batil ini, banyak sekali sumber-sumber baik dustur
Ilahiyah maupun risalah nabawiyah
yang menegaskan tentang pelarangan seorang muslim menjauhi mendapatkan harta
dari cara yang batil. Namun sebaliknya, Islam justru menuntut ummatnya untuk
mencari harta dari cara yang dihalalkan syari’at. Lantas, salah satu penggunaan
harta yang tepat guna dan cara sedikit terlampir pada ayat-ayat dan hadits
berikut ini :
“Tidaklah sekali-kali seseorang makan suatu
makanan yang lebih baik daripada makan dari hasil kerja tangannya sendiri, dan
sesungguhnya Nabi Dawud makan dari hasil tangannya sendiri.” (HR. Al-Bukhari).
“Hai orang-orang yang beriman, makanlah di
antara rizki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada
Allah jika benar-benar hanya kepadaNya kamu menyembah.” (QS Al-Baqarah: 172).
Dalam ayat lain, “Hai sekalian manusia,
makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah
kamu mengikuti langkah syetan, karena syetan itu adalah musuh yang nyata
bagimu.” (QS Al-Baqarah: 168).
Al-Hafidz Ibnu
Mardawih meriwayatkan sebuah hadits dari Ibnu Abbas bahwa ketika dia (Ibnu
Abbas) membaca ayat : berdirilah Sa’ad bin Abi Waqash kemudian berkata: “Ya
Rasulullah, do’akan kepada Allah agar aku senantiasa menjadi orang yang
dikabulkan do’anya oleh Allah.” Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaih wa sallam
bersabda : “Wahai Sa’ad perbaikilah makananmu (makanlah makanan yang halal)
niscaya engkau akan menjadi orang yang selalu dikabulkan do’anya. Dan demi
jiwaku yang ada di tanganNya, sungguh jika ada seseorang yang memasukkan
makanan haram ke dalam perutnya, maka tidak akan diterima amal-amalnya selama
40 hari, dan seorang hamba yang dagingnya tumbuh dari hasil menipu dan riba
maka neraka lebih layak baginya (HR. At-Thabrani)
Mungkin,
hadits dan ayat diatas, cukuplah menegaskan bahwa betapa pentingnya bagi kita
menjahi mencari harta dari jalan batil. Namun, pada dasarnya, kita pun
butuhpenjelasan yang lebih ilmiah dari sekadar sumber ilahiyah saja yang
sebenarnya ilmu kita belum mempunyai kapasitas yang kuat untuk meterjemahkannya
secara tepat.
Sedikit memberikan penjelasan,
mengapa kita harus menjauhi hal demikian. Sebelumnya ci=oba kita renungkan,
apakah kita hidup sendirian, dan apakah harta itu menopan kita sendirian, dan
apakah kita dapat mencarinya sendirian?. Saya rasa pertanyaan tersebut cukup
untuk menjawab pertanyaan kita. Ya, harta itu pun dibutuhkan oleh satu sama
lain, sehingga. Kita taka da hak mendapatkannya dengan cara yang batil sehingga
merugikan orang lain.
Menjauhi
Riba
Jika bicara soal riba, saya teringat sebuah hadits yang cukup
mengangkat bulu kuduk ini dan menjadi bayang-bayang di siang dan malam. Coba kita
simak hadits-hadits dibawah ini :
Dari Ibnu Mas’ud ra bahwa
Nabi saw bersabda, “Riba itu mempunyai
tujuh puluh tiga pintu, yang paling ringan (dosanya) seperti seorang anak
menyetubuhi ibunya.” (Shahih: Shahihul Jami’us Shaghir no: 3539 dan
Mustadrak Hakim II: 37).
Dari Abdullah bin
Hanzhalah ra dari Nabi saw bersabda, “Satu
Dirham yang riba dimakan seseorang padahal ia tahu, adalah lebih berat
(dosanya) daripada tiga puluh enam pelacur.” (Shahih: Shahihul Jami’us
Shaghir no: 3375 dan al-Fathur Rabbani XV: 69 no: 230).
Sedikit Pengertian Riba, Jadi pada dasarnya, Kata
Ar-Riba adalah isim maqshur, berasal dari rabaa-yarbuu, yaitu akhir kata ini
ditulis dengan alif. Asal arti kata riba adalah ziyadah ‘tambahan’. Adapun
pengertian tambahan dalam konteks riba, adalah tambahan uang atas modal yang di
peroleh dengan cara yang tidak di benarkan syara. Apakah tambahan itu berjumlah
sedikit maupun jumlah banyak seperti yang diisyaratkan dalam al-Quran :
“Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah dan
tinggalkanlah sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang
beriman. Jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka
permaklumkanlah bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu
bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kami tidak
menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.” (QS Al-Baqarah: 278-279).
Dari beberapa penjelasan
ayat dan hadits sebelumnya, sudah jelaslah, kenapa kita selaku muslim sangat
dilarang dalam menumbuh-suburkan riba’. Alangkah indahnya ketika dunia ini
tanpa riba’, semua orang akan hidup damai, adil dan sejahtera. Karena pada
hakikatnya, orang-orang pemakan riba itu bagaikan seorang yang kerasukan
syetan, seperti dijelaskan pada ayat berikut :
"Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan
seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit
gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata
(berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah
menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai
kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba),
maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum
datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali
(mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal
di dalamnya." (QS Al-Baqarah : 275)
Yang kita ketahui, satu
orang saja kemasukan syetan, sudah sangat merepotkan, apalagi 3, 4, 5 bahkan
sepuluh orang.
Lantas keharaman riba’
pun semakin tegas pada ayat diatas, “sesungguhnya jual beli itu sama dengan
riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”. Lantas
apalagi yang membuat alasan untuk kita masih mempertahankan riba’.
Menjauhi Segala Macam Jenis Perjudian (Maisir)
Mungkin dari awal tadi, saya terlalu banyak menggunakan dalil-dalil dari Al-Quran dan Hadits tanpa penjelasan yang terperinci. Mungkin pada point ini saya akan lebih banyak menguraikan daripada memposting ayat dan hadits. Namun sebelum itu, ada sebuah ayat pembuka yag ingin saya sajikan :
Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: 'Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfa'at bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfa'atnya'. Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: ' Yang lebih dari keperluan.' Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berfikir, (QS. Al-Baqarah: 219)
Dari ayat diatas, sudah jelaslah bagaimana keharaman dalam berjudi. Berjudi pada wujudnya dapat berupa mengundi dan memiiki unsur ketidak pastian yang tinggi. Judi atau dikenal dengan istilah maisir sangat beririsan dan berkaitan dengan spekulasi. Spekulasi yang sifatnya gharar sangatlah merugikan. Baik merugikan diri sendiri, maupun orang lain.
Jika satu dari kita melakukan perjudian, kemudian yang melakukan perjudian itu kalah, maka secara pribadi, kita akan rugi finansial. Sudah rahasia umum, judi itu untung-untungan, artinya, tidak semua orang bisa menang dan peluangnya sangat kecil. Belum lagi yang menjadi broker atau Bandar judi tersebut adalah non muslim, maka uang-uang yang telah terpakai tadi akan menjadi milik mereka dan semakin memudahkan ‘dakwah negatifnya’ itu kepada tangga kesuksesan. Nah, itu baru satu orang yang melakukan perjudian, jika ada seper sepuluh saja dari umat yang melakukannya, maka tunggu saja kehancuran kita.
Apa yang anda rasakan jika anda ditipu? Sakit? Ingin marah? Atau? Ya, kita paham, siapa saja yang ditipu, tentu akan merasa gusar dan dongkol. Maka, saya berharap dan menghimbau, semua dari kita tidak ada yang melakukan penipuan, terutama dalam menjunjung etika berbisnis seorang muslim.
Insya Allah, orang-orang yang membaca makalah ini adalah orang-orang yang terjauhkan dari perbuatan tersebut. Karena pada hakikatnya, orang yang melakukan penipuan sesungguhnya mendapatkan kerugian yang tidak tanggung-tanggung. Kerugian yang pertama adalah kerugian dunia, yang kedua adalah kerugian akhirat.
Apa saja yang menjadi kerugian dunia? Yang menjadi kerugian dunia akan kita kaitkan dengan pertanyaan diawal sub bahasan ini. Kira-kira, siapa yang akan berbisnis dengan seorang penipu (kalau ketahuan), dan siapa pula yang akan berbisnis dengan orang yang sudah jelas-jelas pernah menipu. Saya rasa, tidak ada, dan meskipun ada, dia adalah yang paling tidak mengetahui cara berbisnis. Maka yang saya simpulkan, anda tidak akan pernah mendapatkan keuntungan dari sebuah penipuan, karena anda kehilangan elemen terpenting dalam mencari keuntungan, yaitu pelanggan.
Kemudian ada pula kerugian dunia yang berkaitan dengan hukum dunia, yang tertuang di dalam KUHP, yang diatur dalam bab XXV pasal 378 sampai dengan 395. Dalam rentang pasal-pasal tersebut, kemudian berubah menjadi bentuk-bentuk penipuan yang lebih khusus. Bentuk-Bentuk Penipuan, Unsur, dan Akibat Hukumnya
Dan yang kedua adalah kerugian akhirat, teringat sebuah riwayat sbb :
“Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pernah melewati setumpuk makanan, lalu beliau memasukkan tangannya ke dalamnya, kemudian tangan beliau menyentuh sesuatu yang basah. Maka beliaupun bertanya, “Apa ini wahai pemilik makanan?” Dia menjawab, “Makanan tersebut terkena air hujan wahai Rasulullah.” Beliau bersabda, “Mengapa kamu tidak meletakkannya di bagian atas agar manusia dapat melihatnya?! Barangsiapa yang menipu maka dia bukan dari golonganku.” (HR. Muslim)
Kita semua tentu tahu dan paham, orang-orang yang bukan merupakan golongan rasul adalah orang orang yang tidak akan mendapatkan pertolongan di hari yang menjadi hari yang kekal nanti.
Salah satu pilar penguat bangunan Islam adalah menunaikan zakat. Pilar inilah yang menjadi rangka terkuat dalam kekuatan ekonomi Ummat. Secara tersurat perintah zakat adalah perintah menuanaikan zakat, itu berarti setiap muslim haru menuanikan zakat jika ingin memperkuat kekuatan Islam. Sedangkan secara tersirat, maksud dari perintah ini mewajibkan muslim untuk kaya. Karena yang kita ketahui, seorang muzakki bukanlah berasal dari orang yang miskin. Nashab zakat untuk dinar saja adalah sebanyak 20 dinar (1 dinar=Rp 2.300.000). nah, inilah yang menjadi salah satu sumber pendanaan yang cukup besar bagi perkonomian ummat muslim.
Pada masa khalifah Umar bin Khattab, selain pendapatan Negara berasal dari ghanimah (rampasan perang), pendapatan negara uga berasal dari zakat dan jizyah (pajak non muslim).
Rutin Berinfak & Menghidupkan Wakaf
Sepertinya tidak ada satupun orang yang rela meninggalkan infaq dan wakaf jika tahu apa keutamaannya, mungkin kebanyakan dari kita sedikit menganggap remeh soal menyoal berinfaq dan wakaf. Keutamaan infaq itu sendiri sangat istimewa, semakin banyak kita berinfaq, justru semakin banyak rezeki yang kita dapat. Disamping itu sudah pasti ganjaran yang kita dapatkan adalah ganjaran yang paling berharga. Yakni pahala, seperti firman Allah sebagai berikut :
“Orang-orang yang menafkahkan hartanya di malam dan di siang hari secara tersembunyi dan terang-terangan, maka mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (QS al-baqarah : 24).
Selain itu, setelah pahala, yang kita dapatkan adalah manfaat besar di dunia, berupa materi seperti ayat berikut ini :
"Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui." (QS : Al-Baqarah : 261)
Maka sudah sebuah kepastia bahwa Islam sangat membutuhkan elemen ini dalam meningkatkan kekuatan perekonomiannya. Tidak hanya kekuatan ekonomi secara mikro (individu), namun pula kekuatan ekonomi secara makro (Negara).
Membiasakan Menabung, Meski Sedikit
Tabungan dalam Islam jelas merupakan sebuah konsekwensi atau respon dari prinsip ekonomi Islam dan nilai moral Islam, yang menyebutkan bahwa manusia haruslah hidup hemat dan tidak bermewah-mewah serta mereka (diri sendiri dan keturunannya) dianjurkan ada dalam kondisi yang tidak fakir. Jadi dapat dikatakan bahwa motifasi utama orang menabung disini adalah nilai moral hidup sederhana (hidup hemat) dan keutamaan tidak fakir.
Tingkat tabungan dari seorang individu dalam teori Islam juga tidak terlepas dari pertimbangan kemashlahatan ummat secara keseluruhan. Pada kondisi tertentu dimana masyarakat begitu membutuhkan harta atau dana, maka individu yang memiliki dana lebih, akan mengurangi tingkat tabungannya atau lebih tepatnya mengurangi tingkat kekayaannya untuk membantu masyarakat yang kekurangan. Mekanisme ini dapat berupa mekanisme sukarela atau mekanisme yang mengikat, artinya negara memiliki wewenang dalam memaksa individu yang berkecukupan untuk membantu masyarakat yang membutuhkan, dengan mengenakan pajak khusus atau dikenal dengan nawaibpada masyarakat golongan kaya. Dengan demikian tingkat tabungan dalam Islam memiliki korelasi yang kuat dengan kondisi ekonomi.
Bagaimana hubungan tingkat tabungan ini dengan tingkat investasi dalam sebuah perekonomian Islam? Tabungan dalam ekonomi Islam tidak begitu kuat dihubungkan dengan investasi. Karena ketika tabungan dimotifasi oleh alasan berjaga-jaga, hidup hemat dan sederhana, maka tidak relevan akumulasi tabungan ini kemudian digunakan untuk investasi yang mekanismenya dalam Islam menggunakan skema bagi-hasil yang memiliki risiko rugi. Risiko yang dimiliki investasi bagi hasil tidak begitu sinkron dengan alasan para pemilik uang untuk menahan uangnya berupa tabungan. Meskipun hubungan itu akhirnya terjadi akibat mekanisme perbankan syariah saat ini yang menggunakan benchmark konvensional, dimana pos tabungan berjaga-jaga masyarakat dapat digunakan oleh bank pada sisi pembiayaannya, konsekwensinya pada sisi pendanaan bank syariah memberikan bonus kepada para nasabah tabungan yang bermotif berjaga-jaga tersebut. Selain itu, berdasarkan motif dan realita masyarakat Islam seperti yang telah dijelaskan dalam pembahasan konsumsi dan permintaan, bahwa masyarakat Islam terdiri atas masyarakat muzakki, mid-income dan mustahik, dapat disimpulkan bahwa mereka yang aktif dalam menabung adalah mereka yang masuk dalam golongan muzakki dan mid-income. Dan akumulasi tabungan secara teori akan relatif kecil jika dibandingkan akumulasi investasi, yang berarti juga peran tabungan dalam perekonomian akan relatif kecil. Dengan demikian tabungan tergantung pada besarnya pendapatan yang porsinya ditentukan oleh kebutuhan berjaga-jaganya. Dan ini perlu dirumuskan lebih spesifik untuk dapat mengkalkulasikan posisi dan peran tabungan dalam perekonomian.
Hubungan tabungan dan investasi dalam perekonomian Islam yang khas ini memang berbeda dengan apa yang dimiliki oleh konvensional. Sehingga perlu sebuah konsep pendekatan analisa ekonomi yang mampu memberikan penjelasan yang cukup tepat tentang posisi serta hubungan tabungan dan investasi dalam sistem ekonomi Islam, juga peran keduanya dalam memajukan kesejahteraan ekonomi.
Wallahu 'alam Wisshowaf...