Pak Masyhudi dan Todi akhirnya sampai di kawasan Gowok, sebelah
Selatan Plaza Ambarukmo, tepatnya di warung kopi Blandongan. Todi tidak bisa
menutupi rasa riangnya ketika tempat mereka tuju adalah sebuah warung kopi.
Warung kopi ini menyediakan kopi istimewa yang diolah langsung dari biji yang
diperoleh pemilik warung.
Pak Masyhudi langsung memesan dua
cangkir kopi sebelum pantatnya menyentuh kursi.
“Dua cangkir, Mas!”, pinta pak
Masyhudi kepada penjual kopi. Penjual itu tersenum sambil memberi tanda bahwa ia
paham apa yang diminta.
Dengan wajah sumrigah, Todi mencari
tempat duduk di dalam warung yang bisa dibilang cukup sederhana.
“Sudah biasa disini ya Pak?”
“Jelas, tempat ini adalah salah satu
tempat favoritku”, jawab Pak Masyhudi berbisik kepada Todi.
“Pantas”, kata Todi lirih sambil
mengangguk-anggukan kepala.
Tidak lama kemudian penjual kopi itu
datang sambil menyajikan dua cangkir kopi. Bau harum kopi Blandongan melelehkan
air liur mereka berdua. Todi menuangkan kopi itu pada piring kecil supaya cepat
dingin.
“Ehmm nikmat menyengat”, desah Todi
merasakan cairan kopi masuk kerongkongan.
Pak Masyhudi
hanya tersenyum melihat Todi sibuk dengan cangkir dan piring kecil di depannya.
Kopi Blandongan memiliki kekentalan dan rasa pahit yang pas, disajikan dalam
porsi yang tepat dalam cangkir kecil. Kekentalan kopinya bahkan bisa dilihat
dari ampas kopi yang tertinggal dalam cangkir ketika telah selesai menikmati
kopi yang disajikan.
“Mengapa Ekonomi Islam itu ada, Pak?”
Tanya Todi tiba-tiba kepada Pak Masyhudi yang sedang terhanyut oleh menikmati
kopi Blandongan.
“Sesuatu yang ada di dalam kehidupan
kita pasti memiliki alasan mengapa harus ada, kalau sesuatu ada tetapi tidak
memiliki alasan mengapa harus ada maka, keberadaannya sia-sia. Sesuatu yang
sia-sia tidak mungkin ada karena semua yang ada di dunia ini memiliki mengapa
sesuatu itu ada.”
“Kok sampai ada dan tidak ada?”, Todi
belum mampu menangkap penjelasan Pak Masyhudi sambil menggaruk-garuk kening.
“Ada alasan karena sesuatu keadaan
menjadi ada harus memenuhi kaidah sebab dan akibat”
“Tetapi tidak semua akibat ada sebabnya,
kan?, dan tidak semua yang ada harus ada alasannya!”
”Bukan tidak ada sebab!, tapi manusia
belum menemukan sebab dari adanya sesuatu sehingga menjadi ada. Dulu orang
belum tahu mengapa Bumi mengelilingi matahari? mengapa bumi berputar pada
porosnya? mengapa air laut asin!”
“Ya” sahut Todi mulai paham.
“Oleh karenanya kita sulit menerima
sesuatu yang tidak ada karena tiadanya sebab dari keberadaannya. Misalnya
zat-zat yang gaib; Allah, Malaikat dan Setan itu zat gaib dan keberadaan dari
sisi materi tidak nyata tetapi fungsi keberadaannya nyata yaitu, Allah sebagai
sang pencipta alam semesta yang membuat alam semesta dan segala isinya menjadi ada,
dan malaikat sebagai pembantu-Nya”
“tetapi tidak seluruh manusia percaya
kalau zat-zat itu nyata, karena mereka masih mempertanyakan sebab dari
keberadaan zat-zat itu”
“Ekonomi Islam pasti ada alasannya
mengapa harus ada, tidak bisa dikatakan sia-sia karena tidak nyata, kan?”
“Alasannya ada!, memberikan
kesejahteraan dan kebahagiaan bagi manusia melalui bank dan lembaga keuangan
syariah!Namun apakah sekedar bank dan lembaga keuangan syariah saja jalan untuk
membuat manusia sejahtera dan bahagia?, karena banyak juga orang merasa bahagia
dan sejahtera berhubungan dengan bank konvensional!. Kalau mereka mereka merasa
bahwa bank dan lembaga keuangan syariah lebih memberikan kesejahteraan dan
kebahagiaan bagi mereka tentunya mereka akan pindah ke bank dan lembaga keuangan
syariah, tetapi mereka bertahan di bank dan lembaga keuangan konvensional”
Todi tidak setuju dengan pendapat Pak
Masyhudi yang dianggap membela ekonomi konvensional, “Saya tidak setuju kalau
ekonomi konvensional juga memberikan kesejahteraan dan kebahagiaan!” kata Todi
dengan suara Parau
Pak Masyhudi melihat Todi bicara
dengan emosi, “Sejak lima abad yang lalu dari masa merkantilis sampai sekarang
sejarah mencatat kemajuan ekonomi Negara-negara barat dan ternyata sistem
ekonomi yang digunakan bukan ekonomi islam melainkan konvensional.”
Emosi Todi terpancing dengan
pernyataan pak Masyhudi dengan suara yang berat Todi menimpali, ”tetapi dengan
ekonomi Islam, manusia akan berpahala dan masuk sorga, sedangkan konvensional
jelas akan membuat manusia berdosa dan jelas masuk neraka!”
Suasana warung kopi ini seperti terasa
begitu sempit dan detak jatung pun terasa terdengar keras. Walaupun warung itu
nampak luas, tempat duduk pengunjungnya berkonsep lesehan dan tanpa sekat memungkinkan
menampung banyak orang. Terasa menikmati suasana kedai kopi di daerah pedesaan
dengan penerangan lampu-lampu kuning dan dinding bambu. Bila lapar karena
terlalu lama berkumpul, bisa menikmati makanan kecil seperti kacang dan
gorengan yang bisa menjadi pengganjal perut.
“Dulu Negara-negara muslim jaya dimasa
Rasulullah, Khulafaurrasyidin, Umayyah dan Abbasiyah dan pada waktu itu barat
dalam masa kegelapan, apakah itu tidak membuktikan bahwa ekonomi islam lebih
baik dari ekonomi konvensional”, kata Todi dengan nada tinggi
“Bagaimana dengan sekarang? Apakah
Negara muslim lebih maju disbanding Negara-negara barat yang notabennya non
Muslim? Apakah ini artinya dampak ekonomi islam sama saja dengan ekonomi
konvensional bagi manusia!”, Pak Masyhudi bertanya kembali kepada Todi yang
mulai gusar dengan beberapa pertanyaan yang ditunjukkan kepadanya.
“Karena sekarang tidak ada Negara
muslim yang sesuai dengan Al-Quran dan Al-Hadits sebagaimana Negara-negara
barat”
“Sama artinya kamu ingin mengatakan
bahwa dengan tidak menggunakan Al-Quran dan Al-Hadits, Negara-negara barat
telah menjadi negara-negara yang maju…. !?”
“Uh…”
“Semestinya kalau Negara Muslim pernah
maju di abad pertngahan, sekarang ini tentunya lebih maju karena konsep
kemajuan Negara Muslim sudah ditemukan; Negara akan maju kalau sesuai dengan
Al-Quran dan Al-Hadits!”
“Ya Ekonomi Islam ada karena memang
harus ada!”, sahut Todi dengan wajah mengeras.
Pak Masyhudi meneguk kopi Blandongan
yang masih hangat sambil mata menatap Todi. “Tod, apa yang ada di dunia ini
bagi manusia pasti memiliki alasan mengapa harus ada karena apa yang dilakukan manusia
dalam menyusun sesuatu, dari sesuatu sebelumnya tidak ada menjadi ada, sesuatu
yang lama menjadi baru, dan baru memiliki alasan karena ada manfaat dari apa
yang tersusun itu menjadi ada dan baru”
“Ya…”
“Oleh karena setiap segala sesuatu
yang ada dan baru bagi―logika umum―manusia diharuskan ada manfaat sebagai
alasan dibuatnya sesuatu.”
“Maksudnya…?”
“Contoh, pakaian dibuat untuk melindungi
dari panas dan dingin, kendaraan dibuat untuk memindahkan kita dari satu tempat
ke tempat lain, rumah dibuat untuk tempat kita berlindung, dll”
“Dan seharusnya Ekonomi Islam harus
memiliki manfaat sebagai alasan atas keberadaannya di dunia ini”, sahut Todi
menekankan.
“Ya, kalau manusia memang punya alasan
untuk menciptakan sesuatu untuk jadi ada atau jadi baru, tapi apakah seluruh
yang ada di dunia ini adalah hasil ciptaan manusia? Sehingga menusia mengetahui
fungsi setiap sesuatu yang ada di dunia ini?”
“Tidak!”
“Apakah kamu mengetahui untuk apa ada
tanaman-tanaman kecil di puncak gunung yang tidak ada manusianya? apa fungsi
diciptakannya ikan yang ada di kedalaman laut yang gelap dan sunyi dimana
manusia akan mati bila berada disana, dan contoh lain sebagainya!”
“Tidak, karena semua itu tidak ada
manfaat bagi manusia!” kata Todi mulai merasa tenang.
“Artinya, manusia memahami bahwa ada
atau tidaknya sesuatu di dunia ini tergantung dari nilai manfaat bagi manusia
itu sendiri”
“Dan bukan bagi Allah!” sahut Todi
dengan suara yang tegas.
“Ya, bukan bagi Allah!”
“Lantas, hubungannya dengan Ekonomi
Islam?”
“Banyak dari kita memahami ekonomi
Islam itu ada di dunia ini karena nilai kegunaan dan manfaat dari sudut pandang
manusia. Ekonomi Islam ada karena bermanfaat bagi kehidupan manusia. Namun
kalau logika itu yang dipakai bukan hanya ekonomi islam saja yang bermanfaat
bagi manusia secara umum, tetapi juga ekonomi kapitalis, sosialis, pancasila
dan lain-lain.”
“Benar, logika kita akan cenderung
mengajarkan untuk apa ekonomi-ekonomi itu ada. Ya, karena manfaatnya” sahut
Todi membenarkan kata-kata Pak Masyhudi.
“Jadi nggak ada bedanya kan? Lalu apa
yang mengharuskan Ekonomi Islam ada?”
“Ya, apa Pak?” Todi balik bertanya.
“Karena Ekonomi Islam bukan
semata-mata ada karena alasan kemanfaatan bagi manusia tetapi karena Allah
memiliki alasan untuk menciptakannya menjadi ada. Mengapa Allah menciptakan
ekonomi Islam? karena manfaatnya bagi Makhluk-Nya yaitu, Manusia. Namun belum
tentu setiap manusia memahami manfaatnya, mengapa Allah menciptakan sesuatu
yang ada dimuka bumi ini!.”
“Lalu?”
“Karena setiap manusia tidak merasakan
langsung manfaat setiap apa yang diciptakan Allah?”
“Tidak merasakan langsung?”
“Kalau tidak ada manfaatnya untuk apa
Allah menciptakan semua itu, ya seperti kamu tadi, apa manusia bisa memahami
manfaat ikan yang ada di kedalaman lautan yang gelap dan sunyi..”
“Ehmmmmm…ya”
“Setiap ciptaan Allah pasti bermanfaat
bagi manusia, namun belum tentu setiap apa yang diciptakan Allah dan menjadi
ada di dunia ini manfaatnya akan dirasakan langsung bagi setiap manusia.
Mengapa ini bisa terjadi? Karena manusia mengukur nilai kemanfaatan apa yang
ada di Dunia ini menurut ukuran manusia. Manusia tidak menggunakan, atau tidak
bisa menggunakan ukuran Allah di dalam menciptakan sesuatu di dunia ini, maka
tidak sama kemanfaatan atas keberadaan ekonomi Islam dan ekonomi konvensional
di dunia ini, karena ekonomi Islam yang menciptakan Allah SWT sedangkan ekonomi
konvensional diciptakan oleh manusia”
“Maka Ekonomi Islam harus ada!?”
“Bila telah mengimani Allah sebagai
tuhan dan Muhammad sebagai rasul-Nya, maka manusia akan yakin bahwa Allah menciptakan
segala sesuatu yang ada di Dunia ini, sudah pasti bermanfaat bagi kehidupan
manusia. Oleh karenanya meyakini Allah sebagai tuhan sama halnya meyakini
ekonomi Islam sebagai ciptaan Allah―yang tercantum dalam al-Quran, al-Hadits
dan sunah-Nya. Maka keyakinan manusia akan kekuasaan, kekuatan, kebenaran dan
kecerdasan Allah akan membuat Ekonomi islam itu ada dan nyata dalam pandangan
rohani dan jasmani manusia”
“Keyakinan… Keimanan… hmm!” ucap Todi
lirih terhanyut oleh kata-kata pak Masyhudi.
“Ya, Ekonomi Islam hanya bisa dibeli
dengan keimanan.
Oleh
: Heri Sudarsono, 24 Agustus 2010
(dengan pengubahan)